TEMPO.CO, Jakarta - Kepala Dinas Kesehatan Provinsi Papua Alosius Giay mengatakan sejumlah tenaga medis di Jayapura, Papua, tidak berani bekerja pasca-demo menolak rasisme terjadi di kota itu. Akibatnya, sejumlah poliklinik terpaksa ditutup.
"Banyak petugas yang tidak mau datang atau takut. Mereka memilih mengamankan diri. Saat ini kami kekurangan tenaga (medis)," kata Alosius saat dihubungi Tempo pada Ahad, 1 September 2019.
Alosius mengatakan, dari delapan rumah sakit yang ada di Jayapura, dua hingga tiga di antaranya telah menutup poli untuk sementara waktu. Akibatnya, layanan kesehatan dipusatkan di Instalasi Gawat Darurat atau IGD lantaran jumlah tenaga medis kurang.
Menurut Alosius, Dinas Kesehatan Provinsi Papua telah berupaya secara persuasif mengajak tenaga medis kembali bekerja. Namun, sebagian di antaranya mengaku masih trauma. "Sehingga saya harus turun mengontrol dan mengefektifkan tenaga yang ada. Saat ini, tenaga yang ada bekerja 2 kali sampai 3 kali 24 jam," tuturnya.
Alosius mengatakan dinasnya saat ini belum menginventarisasi jumlah tenaga medis yang aktif. Dinas juga belum menghitung komposisi kebutuhan pasien terhadap tenaga medis pasca-kerusuhan.
Adapun ihwal obat-obatan, ia memastikan distribusi pasokan kebutuhan farmasi tidak terkendala. Jumlah cadangan obat yang ada di rumah sakit pun, ujar dia, masih mencukupi. "Nanti sore akan kami rapatkan soal kebutuhan obat. Namun yang ada di rumah sakit saat ini kami maksimalkan," ucap Alosius.
Menurut Alosius, pasca-demo, banyak warga mengalami trauma. Pihak rumah sakit dan klinik, ujar dia, telah melakukan penanganan sementara untuk gangguan kesehatan yang dialami warga sekitar.
Seperti diberitakan, demonstrasi menolak rasisme kembali terjadi di Papua pada akhir pekan lalu. Demo pecah di Kota Jayapura. Massa sempat membakar dan merusak sejumlah kantor, seperti kantor PT Telekomunikasi Indonesia atau Telkom. Imbas kerusuhan, tambahan pasukan Korps Brigade Mobil atau Brimob dari sejumlah daerah diterjunkan ke Papua.
FRANCISCA CHRISTY ROSANA