TEMPO.CO, Denpasar – Bank Indonesia mengingatkan pentingnya integrasi keuangan digital nasional. Keterhubungan antara bank dan lembaga keuangan digital dinilai penting untuk menjamin fungsi bank sentral dalam pengawasan peredaran uang. “Sehingga kami bisa menghindari pengalaman di negara lain, yaitu shadow banking,” kata Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo dalam Konferensi Internasional ke-13 Bulletin of Monetary Economics and Banking di Bali, Kamis 29 Agustus 2019.
Perry mengatakan Bank Indonesia terus mencermati era digitalisasi. Dengan begitu, bank sentral dapat mempelajari bagaimana merespons perkembangan industri keuangan berbasis teknologi (financial technology/fintech), seperti peer to peer lending—layanan keuangan yang menghubungkan antara calon pemberi pinjaman dan peminjam. “Ini cara kami menyeimbangkan inovasi dan stabilitas,” kata Perry.
Bahaya shadow banking, perantara pendanaan nonbank, menjadi salah satu catatan dalam kajian terbaru McKinsey & Company yang dirilis bulan ini. Firma konsultan global tersebut mengingatkan risiko berulangnya krisis keuangan 1997 di kawasan Asia.
McKinsey mencermati semakin besarnya utang jangka panjang yang dimiliki korporasi dengan interest coverage ratio (ICR) kurang dari 1,5 di beberapa negara di Asia, termasuk Indonesia. Rendahnya indikator kemampuan sebuah perusahaan dalam membayar bunga utang itu dianggap riskan lantaran dapat menimbulkan gejolak jika peminjam dana kolaps hingga gagal bayar (default).
Persoalannya, McKinsey menilai ada “lubang” pada sistem keuangan di Asia, yakni tren rendahnya margin dan tingginya biaya risiko. Pada sisi lain, pembiayaan korporasi terkonsentrasi ke bank dan lembaga nonbank lantaran lemahnya pasar modal di beberapa negara. Pembiayaan dari perantara nonbank atau shadow banking, seperti fintech, terus meningkat. Kondisi ini berisiko tatkala terjadi default. Di beberapa negara, shadow banking kerepotan dan mencari pinjaman ke bank tatkala klien mereka gagal bayar. Seperti lingkaran setan, kondisi ini bisa menyebabkan gagal bayar lanjutan.
“Saat ini, media di bidang keuangan dan pengamat mempertanyakan apakah kenaikan level utang di Asia bisa memicu terjadinya krisis baru. Sayangnya, tanda-tandanya semakin memburuk,” demikian tertulis dalam laporan yang disusun Senior Partner McKinsey Singapura, Joydeep Sengupta, dan Senior Expert McKinsey, Archana Seshadrinathan, tersebut.