TEMPO.CO, Jakarta - Wakil Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Shinta Widjaja Kamdani merespons pernyataan Presiden Joko Widodo atau Jokowi terkait perubahan nomenklatur kementerian di bawah kepemimpinannya. Ia menilai dibanding perubahan nomenklatur kementerian, ada hal lain yang perlu dilakukan pemerintah.
"Misalnya perizinan onlinenya atau OSS-nya cepet dulu. Kalau BKPM jadi kementerian apa manfaatnya, jika mandat atau pelaksanaan dari kebijakkannya justru terhambat," kata Shinta dalam acara sebuah diskusi bertajuk "Kaum Muda dan Kementerian Baru dalam Postur Kabinet Jokowi-Amin" di Jakarta Selatan, Kamis 29 Agustus 2019.
Shinta menilai selama ini masalah pada masing-masing kementerian bukanlah nomenklatur, tetapi eksekusi kebijakan. Selain itu, pemerintah masih seringkali membuat kebijakan yang berubah-ubah. Adapula persoalan ego sektoral pada masing-masing kementerian di sana.
Adapun sebelumnya, Presiden menyatakan telah menetapkan komposisi kabinet. Bahkan, ia telah merencanakan untuk mengubah nomenklatur kementerian baik menambah, menggabung maupun melebur.
"Ada. Ada (kementerian) yang digabung, ada (kementerian) yang baru," kata Jokowi di Bumi Perkemahan Cibubur, Jakarta, Rabu, 14 Agustus 2019.
Berdasarkan pengalaman sebelumnya, Shinta melanjutkan, pembentukan kementerian baru atau penambahan badan baru membutuhkan waktu penyesuaian selama 1-2 tahun. Setelah itu, institusi baru bisa melaksanakan eksekusi kebijakan yang telah dimandatkan.
Bahkan, kata Shinta, perubahan nomenklatur baik penggabungan, pemecahan maupun pembangunan baru kementerian bisa mengganggu ekonomi dalam jangka pendek. "Bisa berpotensi untuk ganggu ekonomi. Dalam jangka panjang mungkin bisa lebih baik, tapi di jangka pendek itu berpengaruh," kata Shinta.
Karena itu, Shinta meminta rencana perubahan harus dipikirkan lebih matang lagi. Selain itu, rencana perubahan nomenklatur perlu melibatkan para pelaku ekonomi. Sebab, para pelaku merupakan pihak yang paling memahami bagaimana pelaksanaan kebijakan selama ini, khususnya di bidang ekonomi.
DIAS PRASONGKO