TEMPO.CO, Jakarta - Jasa pengiriman logistik, PT JNE, menyebut pemblokiran internet di Papua dan Papua Barat dalam sepekan terakhir telah membuat jumlah paket yang masuk ke sana anjlok drastis. Seperti diketahui, pemerintah melakukan blokir internet di dua provinsi tersebut sejak Rabu, 21 Agustus 2019.
"Jumlah paket kiriman yang masuk ke Papua mengalami penurunan hingga 50 persen," ujar Head of Marketing Communication Division JNE Doedi Hadji Sapoetra dalam keterangan tertulis kepada Tempo, Kamis, 29 Agustus 2019. Ia menyebut pembatasan akses internet membuat masyarakat tidak bisa berbelanja online atau melakukan aktivitas e-commerce.
Namun demikian, kata Doedi, untuk pengiriman keluar Papua tidak terjadi penurunan yang siginifikan. Sebabnya masyarakat Papua yang ingin melakukan pengiriman dengan tujuan keluar Papua, masih dapat dilayani seperti biasanya. "Sesuai komitmen JNE proses pengiriman terus berjalan dan diupayakan dengan maksimal walaupun memerlukan tambahan waktu penyampaian."
Doedi memastikan, kantor cabang perusahaannya di Papua dapat mengatasi kendala yang terjadi dengan berbagai solusi. Menurut Doedi, kantor JNE Cabang Utama Papua memiliki sistem untuk memonitor kiriman atau update status kiriman masih dapat dilakukan seperti biasanya. Ia pun memastikan pengguna jasa bisa menghubungi nomor telepon kantor tersebut atau mendatanginya langsung.
Sebelumnya, Gubernur Papua Lukas Enembe mengatakan menerima banyak protes dari kalangan pengusaha terkait pembatasan akses internet di sana. Ia hanya bisa pasrah dengan kebijakan pemerintah pusat ini. "Banyak keluhan. Makanya kami harap semua sisi informasi bisa dibuka," katanya di Kantor Presiden, Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Senin, 26 Agustus 2019.
Lukas menuturkan situasi di Papua pada umumnya sudah kondusif. Jika muncul keributan dari mahasiswa, ia mengklaim aparat di sana sudah biasa menghadapinya.
Sementara itu, Menteri Komunikasi dan Informatika Rudiantara mengatakan pihaknya belum tahu sampai kapan harus membatasi akses internet di Papua. Alasannya hingga kini pihaknya menemukan lebih dari 230 ribu Uniform Resource Locator atau URL yang memviralkan hoaks terkait insiden di Papua.
Ia menuturkan hoaks paling banyak ditemui di Twitter. Adapun isinya beraneka rupa. "Ada berita bohong, menghasut, yang paling parah mengadu domba," katanya. Jika ditelusuri, kata dia, lokasi penyebar konten-konten hoaks ini bermacam-macam, tidak hanya dari Papua. Kami melihatnya di dunia maya. Bahwa itu dari Papua, manapun di seluruh dunia, kami bisa tangkap. Itu 230 ribu lebih," ucapnya.
Rudiantara berharap kondisi keamanan di Papua segera kondusif sehingga kementeriannya bisa segera menghentikan pemblokiran internet. Ia pun meminta maaf kepada seluruh pihak yang terdampak dari kebijakan ini.
CAESAR AKBAR | AHMAD FAIZ