TEMPO.CO, Jakarta - Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia atau YLKI menilai pemerintah perlu memprioritaskan skenario lain untuk mengatasi defisit Badan Penyelenggara Jaminan Sosial atau BPJS Kesehatan. Sehingga, pemerintah tidak menjadikan kenaikan besaran iuran sebagai langkah utama.
Ketua Pengurus Harian YLKI Tulus Abadi mengakui, besaran iuran BPJS Kesehatan yang berlaku saat ini memang masih jauh di bawah biaya pokok (cost structure). Hal tersebut menjadi salah satu penyebab badan penyelenggara asuransi sosial tersebut mengalami defisit.
"Artinya, tidak serta merta kenaikan iuran itu menjadi solusi tunggal untuk dibebankan ke konsumen," ujar Tulus melalui keterangan tertulis, Kamis 29 Agustus 2019.
Menurut dia, pemerintah bisa saja melakukan relokasi subsidi energi dan atau menaikkan cukai rokok. Sebagian dari subsidi energi yang mencapai Rp157 triliun menurut YLKI dapat direlokasi sebagian menjadi subsidi BPJS Kesehatan.
"Atau yang urgen adalah menaikkan cukai rokok secara signifikan, dan persentase kenaikan cukai rokok itu sebagiannya langsung dialokasikan untuk memasok subsidi ke BPJS Kesehatan," tambah dia.
Skema tersebut, menurut Tulis, tidak membebani konsumen BPJS Kesehatan dan sejalan dengan upaya preventif promotif, sesuai filosofi BPJSKes. YLKI menilai, jika pemerintah tetap akan menaikkan iuran BPJS Kesehatan, maka pemerintah dan manajemen badan tersebut perlu melakukan reformasi total yang terdiri dari beberapa poin, yakni: