TEMPO.CO, Jakarta - Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia Destry Damayanti mengatakan rupiah ikut terpapar dampak akibat perang mata uang dolar-yuan. Kondisi ini terjadi setelah tensi perang dagang antara Amerika Serikat dan Cina kembali menguat.
"Ini kan kita merasakan (nilai tukar) rupiah bergerak di range Rp 14.100, kemudian 14.200. Dan kita enggak sendirian karena semua negara mengalami hal yang sama," kata Destry dalam Economic Outlook 2020 di Pacific Place, Jakarta, Rabu, 28 Agustus 2019.
Sebelumnya DPR telah menyetujui perubahan asumsi makro APBN 2019 di antaranya terkait nilai tukar rupiah. Kurs rupiah sebelumnya diusulkan 14.500 per dolar AS, namun belakangan diubah menjadi 15.000 per dolar AS.
Lebih jauh, Destry menjelaskan, perang dagang antara yang terjadi antara Amerika Serikat dan mitra dagang utamanya, Cina, sebelumnya telah mendorong depresiasi yuan. Kondisi ini membuat mata uang lain ikut melemah.
Sebab, ujar dia, yuan merupakan salah satu simbol dari emerging market economy atau EME di kelompok pasar negara berkembang. Meski begitu, Destry memastikan kondisi ekonomi Indonesia masih tetap terjaga dengan pertumbuhan di atas 5 persen.
"Ekonomi domestik kita so far oke, terjaga. Kita masih ada pertumbuhan, inflasi kita juga terjaga," ujarnya. Inflasi diprediksi masih akan aman pada level 2-4 persen, bahkan sampai 2020.
Upaya Bank Indonesia di tengah perang dagang salah satunya ialah melonggarkan kebijakan moneter. Sepanjang Juli hingga Agustus lalu, Bank Indonesia telah menurunkan dua kali suku bunga.
Tujuan BI menurunkan suku bunga ialah untuk memberikan ruang bagi perbankan untuk bisa menyalurkan kredit. Sebab, dengan likuiditas yang baik, perbankan dapat menekan suku bunga kredit.
Meski begitu, Destry mengatakan kebijakan bank sentral itu tak bisa membuat rupiah serta-merta menjadi menguat. "Kita tentunya enggak berharap rupiah langsung menguat di bawah Rp 14 ribu karena ekonomi globalnya sekarang seperti itu," ujarnya.