Tony menjelaskan tak ada masalah hukum dalam proses pemberian pinjaman itu. Masalah baru muncul ketika peminjam tidak bisa membayar sesuai jatuh tempo. Perusahaan dari aplikasi pinjaman online itu mengerahkan penagih utang. "Dengan cara meneror dengan kata-kata tidak senonoh melalui pesan pendek di telepon seluler maupun media sosial."
Penagih utang ini tidak hanya meneror ke nomor telepon seluler peminjam yang terlilit utang, melainkan juga ditujukan kepada nomor telepon seluler para kerabatnya. Lebih parah lagi, para penagih utang bisa melihat data-data yang tersimpan di dalam telepon seluler para debitor atau nasabahnya.
"Mereka bisa melihat nomor telepon mana saja milik para kerabat debitur bermasalah yang sering dihubungi dan kemudian menghubunginya satu persatu dengan menebar kata-kata tidak senonoh yang menjelekkan," kata Tony.
Sebelumnya, Ketua Satuan Tugas Waspada Investasi Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Tongam L. Tobing, mengatakan perlu ada undang-undang yang mengatur mengenai layanan fintech khususnya pinjaman online.
"Kita membutuhkan Undang-Undang Fintech yang ada. Karena kalau kita liat fintech ilegal tidak ada undang-undang yang mengatakan tindak pidana," kata Tobing di Markas Besar Polri, Jakarta Selatan, pada Jumat, 2 Agustus 2019.
Tobing mengatakan, kehadiran fintech sendiri memang merupakan inovasi keuangan baru yang saat ini terus berkembang pesat. Kendati demikian, fintech juga menimbulkan keresahan bagi masyarakat akibat timbulnya kejahatan jenis baru yang menggunakan fintech.
Alhasil, Tobing memandang perlu adanya undang-undang yang mengatur mengenai fintech. Di mana, ada pasal yang mengatur perihal kegiatan fintech jika tidak berizin dan terdaftar di OJK, akan masuk dalam tindak pidana.
ANTARA