Bambang mengatakan Indonesia pernah disebut sebagai negara industri karena porsi manufaktur dalam PDB mencapai 30 persen. Namun, kontribusi industri tersebut kini kian menyusut. Data Badan Pusat Statistik (BPS) kuartal III 2018 bahkan menunjukkan porsi industri manufaktur tercatat sebesar 19,66 persen terhadap PDB. Pertumbuhan industri manufaktur hanya 4,33 persen, atau lebih rendah dibanding pertumbuhan ekonomi 5,17 persen.
"Indonesia belum berhasil reindustrialisasi, tapi yang terjadi adalah deindustrialisasi prematur. Dulu sempat kontribusi industri mencapai 30 persen terhadap PDB, tapi kini tercatat 20 persen saja meski memang porsinya masih paling besar," kata Bambang.
Profesor Studi Kontemporer Indonesia dari Universitas Leiden, Belanda, David Henley, juga mengatakan proses industrialisasi di Indonesia memang tidak banyak berkembang sejak beberapa dekade terakhir. Kondisi ini tampak pada struktur ekspor Indonesia yang masih didominasi oleh produk mentah seperti batu bara dan kelapa sawit.
Namun, ia juga mengatakan bahwa tidak semua negara kaya mengalami proses industrialisasi yang cukup intensif. Ia juga mengatakan, bahwa sektor manufaktur juga bukanlah satu-satunya faktor yang bakal mendorong pertumbuhan ekonomi suatu negara. “Australia dan Selandia Baru adalah negara kaya yang tak pernah mengalaminya,” kata David.
Untuk mencegah deindustrialisasi berlanjut, Indonesia disarankan untuk fokus mengembangkan sektor yang memang menjadi keunggulan selama ini dari negara lain. Selain itu, ia juga menyarankan Indonesia melihat berbagai praktik yang dilakukan oleh negara maju lainnya, ketika bergerak meninggalkan status sebagai negara berkembang.