TEMPO.CO, Jakarta - Kementerian Perdagangan usul mengalihkan impor pesawat dari Airbus ke Boeing. Langkah itu merupakan ancaman bagi Uni Eropa yang telah mengeluarkan kebijakan menghambat impor produk minyak kelapa sawit mentah atau crude palm oil (CPO) dan produk turunannya asal Indonesia.
Namun pengamat penerbangan sekaligus CEO Arista Indonesian Aviation Center (AIAC), Arista Atmadjati, mengatakan wacana pengalihan impor Airbus merugikan industri penerbangan. "Ya rugi kalau kita stop pembelian Airbus karena belakangan produk Boeing kurang bagus," ujarnya dalam pesan pendek kepada Tempo, Jumat, 23 Agustus 2019.
Arista mencontohkan produk Boeing yang keluar baru-baru ini, yakni Boeing 737 Max 8, cacat produk. Seri Boeing Max 8 yang dioperasikan Ethiopian Airlines dan Lion Air mengalami gagal terbang hingga mengakibatkan ratusan jiwa melayang.
Dari kejadian itu, Arista memandang sejumlah operator penerbangan memilih mengimpor Airbus. Apalagi, ujar dia, produk pesawat asal Toulouse, Prancis, ini dinilai tengah menjadi sorotan karena kualitasnya memimpin.
Pengamat Penerbangan dari Jaringan Penerbangan Indonesia, Gerry Soejatman, mempertanyakan upaya pemerintah mewacanakan penghentian impor Airbus.
Sebab, hal berkaitan dengan tarif tiket yang ditawarkan.
"Kalau mau melarang pakai Airbus, tapi harga tiket dipaksa murah dengan tarif batas atas yang rendah juga, kalau rugi terus gimana?" katanya.
Sejumlah maskapai selama ini mengakui mengefektifkan biaya operasional dengan mengoperasikan Airbus. Salah satunya AirAsia. Maskapai asal Malaysia itu menyatakan dapat mematok harga tiket murah karena seluruh armadanya merupakan Airbus yang memiliki kapasitas lebih besar.
Gerry mengatakan, pelarangan impor Airbus diskriminatif. Selain itu, langkah ini bakal menambah beban bagi maskapai karena mesti melatih kru dan engineer untuk pesawat merek berbeda. "Ganti pesawat enggak kayak ganti mobil," ucapnya.