TEMPO.CO, Jakarta - Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filamen Indonesia (APSyFI) menilai penurunan suku bunga acuan sebesar 25 basis poin (bps) menjadi 5,5 persen tidak akan banyak berpengaruh pada industri tekstil dan produk tekstil (TPT) lantaran selama ini perbankan menganggap industri ini berisiko tinggi.
“Pada saat itu (saat krisis 1998) industri tekstil memiliki stereotip sebagai sunset industry. Pemulihan prudential banking terhadap sektor TPT belum maksimal,” ujar Executive Member APSyFI Prama Yudha Amdan kepada Bisnis, Kamis, 22 Agustus 2019.
Kamis, Bank Indonesia atau BI memutuskan untuk kembali menurunkan tingkat suku bunga acuan atau BI 7 Days Reverse Repo Rate sebesar 25 basis poin atau bps, sehingga kini menjadi 5,5 persen.
Prama menyatakan dasar suku bunga pinjaman yang ditetapkan sektor perbankan sudah tinggi lantaran sentimen buruk ke industri tekstil dan produk tekstil (TPT) yang belum hilang sejak krisis 1998.
Dia mengatakan sentimen buruk tersebut membuat industri TPT dinilai sebagai sektor kredit berisiko tinggi. Suku bunga yang diberikan kepada industri TPT sudah terlampau tinggi. Alhasil, penurunan suku bunga acuan tersebut dinilai memiliki efek terbatas.
Menurutnya, ada dua hal yang dapat dilakukan agar penurunan tersebut memiliki dampak yang maksimal pada industri TPT. Pertama, pemberian predikat industri strategis nasional kepada industri TPT. Dengan demikian, perbankan akan otomatis menurunkan tingkat risikonya kepada industri TPT yang akan ditransmisikan pada suku bunga pinjaman.
Namun, pemberian predikat tersebut dapat memakan waktu yang cukup lama lantaran harus ada pembahasan yang cukup komprehensif.
Kedua, Prama menyarankan perbankan untuk memberikan suku bunga berdasarkan dari sifat sub-sektor industri TPT. Dia mengatakan industri TPT akan semakin bersifat padat karya mendekati proses hilir dan pada modal pada sektor hulu. Dia menyarankan adanya pengelompokan risiko berdasarkan sektor yang ada di industri TPT.
“Yang padat karya mungkin masuk perhitungan sebagai high risk karena bisa shutdown produksi kapan saja. Tapi, yang padat modal tidak bisa karena investasinya besar,” katanya.
BISNIS