Didik mencontohkan, bahwa sebuah kebijakan penting seperti ini harus membutuhkan waktu bertahun-tahun, mulai pemahaman, sosialisasi, hingga kepada penerapan. Banyak faktor yang harus dipertimbangkan, seperti merevisi undang-undang terkait, yang akan berlangsung lama, lalu pemindahan kantor kedutaan negara sahabat, dan pada masa transisi beberapa Kementerian dan Lembaga akan selalu berpindah-pindah.
Menurut Didik, aturan ini terkesan buru-buru tanpa mengindahkan proses akademik, yang nanti akan berakibat buruk bagi bangsa. "Saya tidak menentang itu, tidak. Tapi kebijakan ini tidak melakukan satu proses konsultasi publik sosialisasi sebagaimana umumnya kebijakan-kebijakan publik yang lain," ucapnya.
Sebelumnya, Presiden Joko Widodo atau Jokowi menyatakan ibu kota bakal pindah dari Jakarta ke Kalimantan pada 2023 seumpama Istana Negara siap. “Gedung kementerian sudah ada, 2023 pindah. Kalau istana sudah siap, 2023 pindah. Atau maksimal 2024 pindah,” ujarnya dalam wawancara khusus dengan Tempo, Senin, 19 Agustus 2019.
Jokowi mengatakan pemindahan ibu kota bakal diawali dengan land clearing. Pada tahap ini, pemerintah akan mulai memindahkan fasilitas infrastruktur, seperti gedung dan perkantoran, yang mendukung jalannya kinerja pelaksana kementerian.
Setelah infrastruktur kementerian dibangun, seluruh pelaksana pemerintahan bakal tinggal di ibu kota baru. Mantan Gubernur DKI Jakarta itu memastikan pegawai tak bakal bolak-balik ke Jakarta-Kalimantan. "Kalau sudah, ngapain bolak-balik? Kementerian juga sudah pindah kok bolak-balik? Pindah ya pindah,” ujarnya.
Jokowi memastikan ibu kota bakal berkembang tahap demi tahap. Bila pengembangan ibu kota tahap pertama kelar, pemerintah bakal membangun fasilitas kedua. Di antaranya stasiun, universitas, kantor non-kementerian, dan lembaga-lembaga tinggi.
EKO WAHYUDI | RR ARIYANI