TEMPO.CO, Jakarta - Nilai tukar rupiah terhadap dolar diprediksi masih akan melemah pada 2020 karena eskalasi perang dagang Amerika Serikat dan Cina belum reda. Wakil Direktur Eksekutif Institute for Development of Economic and Finance atau Indef Eko Listiyanto memprediksi kurs rupiah bakal melampaui asumsi makro pemerintah dalam rencana anggaran pendapatan dan belanja negara atau RAPBN 2020.
“Dugaan saya tahun depan bisa sampai Rp 14.700,” ujarnya saat ditemui di kantor Indef, Pasa Minggu, Jakarta Selatan, Senin, 19 Agustus 2019. Sedangkan pemerintah sebelumnya pede memproyeksikan nilai tukar rupiah sebesar Rp 14.400. Asumsi itu disampaikan Presiden Joko Widodo atau Jokowi saat membacakan nota keuangan RAPBN pada 16 Agustus 2019.
Menurut Eko, rupiah masih bakal melemah lantaran adanya potensi pelebaran defisit transaksi berjalan alias current account deficit atau CAD. Dalam tekanan ekonomi global, pemerintah sulit menggenjot laju ekspor lantaran beberapa faktor.
Di sektor sawit, misalnya, volume ekspor diprediksi bakal melorot setelah Uni Eropa memungut bea masuk sebesar 18 persen kepada eksportir Indonesia. Padahal, selama ini ekspor Indonesia salah satunya bergantung pada komoditas sawit. Ia juga menyebut pengembangan negara tujuan ekspor baru seperti Afrika masih sukar dijajaki.
“Kemudian mau masuk pasar India juga tarif (bea ekspor) lebih mahal,” tuturnya.
Kondisi ini mengakibatkan volume ekspor Indonesia terhambat. Di sisi lain, keran impor justru disinyalir masih deras dibuka. Misalnya di bidang perdagangan daging. Pemerintah melalui Kementerian Perdagangan sebelumnya mengumumkan rencana mengimpor daging sapi dari Brasil sebesar 50 ribu ton pada 2020.
Eko mengatakan tak ada cara lain yang paling efektif untuk mempersempit celah CAD selain memanajemen ekspor dan impor. “Cara mengatasi CAD ini susah. Pilihannya enggak banyak selain (mengatur) ekspor dan impor,” katanya.
Meski demikian, ia menduga nilai tukar rupiah terhadap dolar pada tahun depan tak bakal tembus Rp 15 ribu. Sebab, sebelumnya The Fed atau Bank Sentral Amerika Serikat telah menurunkan suku bunganya karena ada potensi resesi atau perlambatan pertumbuhan ekonomi akibat sentimen dagang.