TEMPO.CO, Jakarta - Badan Pusat Statistik atau BPS mencatat bahwa neraca perdagangan untuk minyak dan gas (migas) selama dari Januari hingga Juli 2019 mengalami defisit sebesar US$ 4,9 miliar. Kepala BPS Suhariyanto mengatakan nilai impor migas sepanjang periode itu sebesar US$ 12,64 miliar.
"Sementara nilai ekspor migas sebesar US$ 7,71 miliar," kata Suhariyanto di kantornya, Jakarta, Kamis, 15 Agustus 2019.
BPS mencatat, selama Juli 2019 saja, impor migas mencapai US$ 1,75 miliar atau naik 2,04 persen dibanding Juni 2019. Namun, angka ini turun 34,29 persen jika dibandingkan nilai impor migas pada Juli 2018 (year on year/yoy)
Suhariyanto merinci, selama 13 bulan terakhir, nilai impor migas yang tertinggi terjadi pada bulan Agustus 2018. Saat itu, nilai impor migas mencapai US$ 3,04 miliar. Sebaliknya, nilai impor migas terendah terjadi pada Maret 2019 yang sebesar US$ 1,52 miliar.
Secara keseluruhan, BPS menyebut bahwa neraca perdagangan pada Juli 2019 mengalami defisit sebesar US$ 63,5 juta. Nilai impor Indonesia pada Juli 2019 mencapai US$ 15,51 miliar sementara nilai ekspornya sebesar US$ 15,45 miliar.
Nilai impor Juli ini, kata Suhariyanto, naik 34,96 persen dibanding Juni 2019, namun turun 15,21 persen jika dibandingkan Juli 2018 (yoy). "Kenaikan impor yang utama adalah terjadi untuk impor nonmigas," ujarnya.
BPS juga mencatat nilai ekspor pada Juli yang sebesar US$ 15,45 miliar itu meningkat 31,02 persen dibanding bulan sebelumnya. Akan tetapi, jika dibanding Juli 2018 (yoy) malah menurun 5,12 persen.
"Kenapa impor naiknya signifikan, karena Juni lalu merupakan bulan Ramadan. Kita punya libur panjang cuti bersama sampai tanggal 9, sehingga hampir sepertiga hari kerja di Juni hilang. Sekarang situasinya kembali normal sehingga kenaikannya signifikan," kata Suhariyanto
HENDARTYO HANGGI