Karena itu lah, Luhut melihat Indonesia mesti fokus pada industri elektronika, mesin, tekstil, furnitur, consumer goods, mainan dan perlengkapan olah raga, peralatan rumah tangga, dan alas kaki. Sehingga Indonesia bisa memenuhi kebutuhan domestik Amerika Serikat apabila perang dagang skala penuh terjadi.
"Kami melihat Amerika itu terpukul, sekarang mereka malah cenderung mau menaikkan lagi tarif menjadi 25 persen untuk impor senilai US$ 300 miliar, kalau itu terjadi bisa betul-betul perang," ujar Luhut.
Luhut pun mengaku sempat menanyakan kondisi tersebut kepada para pelaku industri di Cina. "Ketika dari Cina kemarin kami bertanya ke pabriknya bagaimana dampak trade war ini. Katanya very painful. Ini perlu kami waspadai," kata Luhut. Ia pun mengatakan akan melihat perkembangan kebijakan dua negara, salah satunya hingga Pemilihan Umum Amerika Serikat akhir tahun depan.
Belakangan, Luhut mengatakan perang dagang juga telah berkembang kepada nilai tukar mata uang Cina. Depresiasi yuan ternyata juga berimbas kepada anjloknya nilai tukar rupiah hingga kisaran Rp 14.200. "Ini yang kami waspadai."
Walau demikian, Luhut optimistis di antara negara-negara berkembang Indonesia berada di posisi terbaik. Contohnya, Indonesia bisa mempertahankan pertumbuhan ekonomi 5 persen di tengah gejolak perekonomian global. Ia pun mengatakan pemerintah telah memberi kemudahan investasi sehingga para pemodal asing mau menanamkan duitnya ke Indonesia.
Karena itu, selain mewaspadai dampak negatif dari perang dagang, Luhut juga mengatakan pemerintah berharap bisa menangkap peluang ekonomi dari fenomena ini. "Perubahan rantai pasok menjadi penting, jangan nanti ada relokasi itu berubah dari cina perginya ke Thailand dan Vietnam," ujar dia. "Kita harus sesuaikan dengan aturan negara lain jadi lebih kompetitif, kita punya potensi mengisi impor Amerika dari Cina."