TEMPO.CO, Jakarta - Anggota Komisi Keuangan DPR Hendrawan Supratikno mengatakan, pembentukan super holding Badan Usaha Milik Negara (BUMN) membutuhkan payung hukum setingkat Undang-Undang. Karena itu, pembentukan super holding BUMN tak cukup hanya menggunakan peraturan pemerintah semata.
“Kami (DPR) juga diskusi dengan pakar hukum Refly Harun, sepakat harus pakai UU,” kata Hendrawan dalam diskusi bersama Infobank di Cikini, Jakarta Pusat, Selasa, 13 Agustus 2019. DPR menilai BUMN merupakan instrumen negara yang paling penting bagi berjalannya program pemerintah.
Untuk itu, menurut Hendrawan, pembentukan super holding BUMN harus dirumuskan dalam revisi Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang BUMN. Namun, masalah muncul karena saat ini Komisi BUMN DPR masih memboikot dan tidak bersedia rapat dengan Menteri Rini Soemarno akibat kasus Pelindo. “Jadi ini justru malah memberi kebebasan bagi Rini untuk membentuk holding,” kata dia.
Sebelumnya, rencana super holding BUMN ini sempat disebutkan Presiden Joko Widodo dalam debat calon presiden dan wakil presiden April lalu. Hingga Rabu, 31 Juli 2019, rencana ini masih dalam tahap pengkajian di kementerian BUMN. Seiring dengan itu, Kementerian Keuangan terus menjalin komunikasi terkait pembentukan super holding BUMN tersebut.
"Yang jelas permohonan resmi super holding BUMN belum ke kami. Pak Mei (Direktur Kekayaan Negara Dipisahkan Kementerian Keuangan Meirijal Nur) kan juga habis rapat dengan teman-teman BUMN dan mereka sudah punya bahan, artinya proposal dan sebagainya, tapi super holding ini belum ke kami," ujar Direktur Jenderal Kekayaan Negara Isa Rachmatarwata di kantornya, Rabu, 31 Juli 2019.
Namun saat itu, Isa menjelaskan perlunya pembentukan super holding BUMN. Super holding adalah gabungan dari perusahaan-perusahaan holding berbagai sektor. Dengan model holding BUMN, Kementerian Keuangan melihat adanya peningkatan kapasitas yang bisa dilakukan oleh perusahaan-perusahaan pelat merah. Di samping itu, perseroan dipercaya bisa lebih lincah dalam bermanuver dan mengambil peluang.
"Idealnya kalau sampai ke super holding, kita membayangkan satu korporasi besar yang menaungi ini yang kemudian pengambilan keputusannya sangat luwes," kata Isa di kantornya, Rabu, 31 Juli 2019. Namun ia mengatakan pemerintah masih mengkaji model yang pas untuk super holding Indonesia ini.
Sementara itu, peneliti dari Center for Reform on Economics (CORE) Indonesia, Piter Abdullah Redjalam menilai pemerintah perlu mendudukkan terlebih dahulu posisi BUMN di Indonesia, sebelum melanjutkan hingga super holding. Sebab, posisi BUMN di Indonesia berbeda dengan negara lain. Sebut saja Singapura, di mana super holding bekerja secara profesional dan tidak berada di bawah kementerian tertentu.
Ia khawatir, pembentukan super holding BUMN ini malah membuat perusahaan pelat merah kebanyakan tanggung jawab. Mulai dari tanggung jawab ke CEO, ke Menteri BUMN, hingga ke kementerian terkait. “Jadi nanti pengelolaannya jadi sangat kompleks,” kata Piter.
FAJAR PEBRIANTO