3. Pengawasan ada karena pengaduan
Setelah ramai aksi penolakan, Agung mengatakan rencana ini tidak muncul begitu saja, namun karena adanya pengaduan ke lembaga yang Ia pimpin. “Kami mendapatkan pengaduan masyarakat soal media baru ini,” kata Agung. Pengaduan yang masuk, kata Agung, menyangkut banyak hal seperti perlindungan anak, pornografi, hingga kekerasan.
Sehingga, KPI pun berinisiatif untuk mulai mengawasi tayangan di media-media tersebut. Konten yang akan diawasi oleh KPI juga hanyalah media baru yang bersiaran, tidak semua media sosial. “Yang paling clear, Youtube dan Netflix,” kata dia.
4. Dua tafsir UU Penyiaran
Lebih lanjut, KPI menyadari payung hukum dari kegiatan pengawasan yang mereka lakukan saat ini adalah UU Penyiaran. Namun dalam pasal 1 UU disebutkan bahwa, “penyiaran adalah kegiatan pemancarluasan siaran melalui sarana pemancaran dan/atau sarana transmisi di darat, di laut atau di antariksa dengan menggunakan spektrum frekuensi radio melalui udara, kabel, dan/atau media lainnya untuk dapat diterima secara serentak dan bersamaan oleh masyarakat dengan perangkat penerima siaran.”
Nah, istilah media lainnya inilah yang dinilai bisa menjadi dasar dari pengawasan YouTube dan Netflix, meski menggunakan internet, bukan frekuensi radio. Tapi saat ini, Agung menyebut ada dua tafsiran hukum. Tafsiran pertama menyebut media lainnya ini bisa termasuk pada media seperti youtube dan netflix. Sementara, tafsiran kedua menilai keduanya keduanya tidak bisa dikategorikan sebagai media lainnya.
Untuk itu, KPI bakal mengadakan Focus Group Discussion (FGD) setelah 17 Agustus 2019 untuk membahas soal perbedaan pandangan hukum ini. Di sisi lain, agung merujuk pada kegiatan Dewan Pers yang melakukan verifikasi terhadap media online. Menurut dia, Dewan Pers juga memanfaatkan istilah media lainnya untuk mengawasi media online. “Jadi ini kan sudah ada insidennya pada UU Pers,” kata dia.
5. Berkaca pada Australia
Selain itu, Agung mengatakan bahwa pengawasan semacam ini juga merujuk pada Australia yang sudah menerbitkan regulasi media sosial sejak awal 2019. Regulasi ini muncul sebagai buntut dari aksi penembakan yang dilakukan Brenton Tarant di Selandia Baru dan ditayangkan secara live di Facebook, sekitar Maret 2019.
Sehingga, parlemen Australia pun membuat regulasi mengenai tayangan atau konten media sosial agar sesuai dengan nilai-nilai yang disepakati di negara tersebut, “Salah satunya yaitu meminta pejabat eksekutif dari media sosial yang berkantor di Australia untuk menurunkan (take down) konten yang berisi kekerasan.
6. KPI memastikan tidak ada sensor konten
Dalam petisi yang telah mencapai 43 ribu tandatangan, disebutkan bahwa KPI bukan lembaga sensor. Nah, Agung langsung mengklarifikasi dan memastikan lembaganya sama sekali tidak berniat untuk menyensor tayangan yang dinilai tidak sesuai dengan P3SPS. “Kami tidak menyensor, tidak blurring, kata Agung.
Dalam pengawasan nanti, KPI hanya akan berhubungan dengan pejabat eksekutif dari media tersebut, bukan langsung dengan content creator atau pencipta dari tayangan tersebut. Saat ini, KPI tengah mendiskusikan teknis pengawasan dengan perwakilan media ini. Namun, KPI meminta ada perwakilan dari media tersebut yang berkantor di Indonesia untuk memudahkan koordinasi.