TEMPO.CO, Jakarta - Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil mengatakan kenaikan tarif iuran BPJS Kesehatan berpotensi memberatkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah. Menurut dia, setiap kenaikan tarif yang memberatkan masyarakat memang akan berkonsekuensi besar.
Sehingga, ia meminta pemerintah pusat mengkaji terlebih dahulu rencana kenaikan tarif tersebut. "Kalau memang akhirnya tidak ada pilihan lain saya kira menyesuaikan dengan kemampuan masyarakat lah ya. Ujungnya apa? Kayak saya nanti kita harus mengcover yang tidak mampu kan berarti kan APBD bertambah bermiliar-miliar untuk mengcover BPJS yang warga tidak mampu, jadi itu mempengaruhi beban kami," ujar dia di Kota Kasablanka, Jakarta, Sabtu, 10 Agustus 2019.
Ridwan mengatakan pemerintah juga mesti mencari tahu apa permasalahan utama terkait perkara BPJS Kesehatan. Salah satu yang perlu ditinjau adalah pemahaman masyarakat yang kerap memilih ke rumah sakit bila ada masalah kesehatan. Akibatnya, beban pembiayaan jaminan kesehatan pun melambung.
"Jangan-jangan masalahnya ada di situ, karena yang saya tahu kalau di negara Eropa tidak semua masalah harus ke rumah sakit, kan gitu."
Meski demikian, Ridwan mengatakan akan selalu mendukung apa keputusan pemerintah. Hanya, ia meminta pemerintah memberi transparansi pengkajian seperti apa dan permasalahannya datang dari mana, sehingga iuran itu perlu dinaikkan. "Kalau masyarakat diberi penjelasan mudah-mudahan bisa memahami dan mendukung," tutur dia.
Sebelumnya, di lain kesempatan, anggota Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) Hasbullah Thabrani meminta pemerintah mau menaikkan iuran Badan Penyelenggara Jaminan Sosial atau BPJS Kesehatan.
"Saya berharap Presiden Jokowi dan Menkeu Sri Mulyani mau mendengar. Iuran memang bermasalah karena berada jauh di bawah seharusnya. Iurannya minimum naik 50 persen dari saat ini," ujar Hasbullah di Serpong, Tangerang Selatan, Banten, Sabtu, 10 Agustus 2019.
Naiknya iuran BPJS Kesehatan itu bertujuan agar rumah sakit baik swasta maupun negeri dan juga klinik bisa dapat bekerja yang baik. Dia menjelaskan untuk iuran kategori Penerima Bantuan Iuran tidak ada masalah. Tapi yang menjadi masalah untuk kategori Pekerja Bukan Penerima Upah (PBPU) yang sering menunggak.
Dia mengibaratkan besar kecilnya iuran BPJS Kesehatan dengan keinginan dalam membeli makanan. Jika uangnya hanya Rp 5.000 maka yang didapat hanya nasi kucing sementara jika ingin makan nasi Padang maka perlu dana yang lebih besar lagi. Jika tak dinaikkan, maka dia khawatir pelayanan kesehatan tak mengalami peningkatan pula."Seharusnya dihitung dulu berapa kebutuhan rumah sakit, baru dihitung iuran gotong royongnya," tambah dia.
Dia memberikan contoh di Thailand, yang mana iurannya per bulan mencapai Rp 120.000. Menurut dia, wajar jika iuran BPJS Kesehatan juga mengalami kenaikan minimal 50 persen.
CAESAR AKBAR | ANTARA