TEMPO.CO, Jakarta - Menteri Perindustrian Airlangga Hartarto menjawab penelitian Institute for Development of Economic and Finance atau Indef yang menyimpulkan investasi yang masuk ke Indonesia masih belum cukup nendang mendorong pertumbuhan industri manufaktur.
Airlangga mengatakan pertumbuhan manufaktur tidak bisa dilakukan dalam waktu singkat. "Pertumbuhan manufaktur perlu waktu untuk meningkat, apalagi pemerintah baru melakukan beberapa kebijakan baru seperti super tax allowance, tax holiday, dan lainnya, efeknya tidak bisa instan, perlu waktu," ujar dia di Kota Kasablanka, Jakarta, Sabtu, 10 Agustus 2019.
Contohnya saja, kata Airlangga, untuk mendirikan pabrik, waktu yang dibutuhkan bisa mencapai 2-3 tahun. Meski demikian, ia mendorong masyarakat industri bisa lebih percaya terhadap iklim investasi yang didorong pemerintah. "Sehingga, ke depan, kami berharap itu bisa mendorong peningkatan ekspor."
Airlangga juga percaya hingga kini para pemodal masih memiliki minat untuk berinvestasi di sektor manufaktur. Hanya saja, ia menegaskan realisasi investasi memang bertahap dan perlu waktu. "Kalau kami lihat di BKPM kan sektor manufaktur minatnya tinggi, tapi realisasinya bertahap, bangyn rumah saja bisa satu tahun, apalagi bangun industri," kata dia.
Sebelumnya, Ekonom Institute for Development of Economic and Finance atau Indef Ahmad Heri Firdaus mengatakan investasi yang masuk ke Indonesia masih kurang berdampak kepada kinerja sektor riil.
"Investasi yang masuk ke Indonesia kalau diukur dari BKPM, PMA dan PMDN, total kuartal kedua Rp 200,5 triliun atau 10 persen dari APBN, relatif banyak. Tapi dampak atau pengaruhnya terhadap kinerja sektor riil sepertinya belum nendang," ujar dia di Hotel Aryaduta, Jakarta, Rabu, 7 Agustus 2019.
Buktinya, kata Heri, pertumbuhan industri manufaktur, atau sektor padat karya masih di bawah pertumbuhan ekonomi nasional, yaitu hanya 3,98 persen. Padahal, industri tersebut merupakan kontributor terbesar ekonomi yang memiliki kemampuan cukup kuat dalam menciptakan lapangan kerja, serta penyumbang terbesar penerimaan negara.
Karena itu, ia menyimpulkan bahwa investasi yang masuk semakin kurang mampu mendorong penciptaan lapangan kerja. Menurut Heri, pada 2018 saja, ketika realisasi investasi tumbuh 4,11 persen, justru kemampuan menyerap tenaga kerja mengalami turun 18,4 persen year-on-year. Masuknya investasi terlihat belum sesuai dengan apa yang dibutuhkan Indonesia yaitu padat karya di sektor sekunder.
Heri mengatakan adanya pergeseran struktur investasi asing di Indonesia dari sekunder ke tersier atau sektor jasa. Saat ini porsi Penanaman Modal Asing di sektor tersier mencapai 48,2 persen dan sisanya tersebar di sektor primer dan sekunder. Pergeseran ini membawa implikasi terhadap kemampuan investasi dalam menyerap tenaga kerja dan efektivitasnya terhadap pertumbuhan ekonomi.