TEMPO.CO, Jakarta - Bank Indonesia (BI) mengumumkan defisit transaksi berjalan atau Current Account Deficit (CAD) pada triwulan II 2019 mencapai US$ 8,4 miliar atau tembus di batas aman yaitu 3 persen dari Pendapatan Domestik Bruto (PDB). Angka ini lebih melebar dari defisit pada triwulan I 2019 yang sebesar Rp 7 miliar atau 2,6 persen dari PDB.
Namun, Gubernur BI Perry Warjiyo menyebut bukan defisit yang sebenarnya lebih tinggi. “Tapi karena PDB-nya lebih rendah dari yang kami perkirakan,” kata Perry di Gedung BI, Jakarta Pusat, Jumat, 9 Agustus 2019. Menurut dia, realisasi PDB sepanjang triwulan II 2019 memang relatif sama dengan triwulan I 2019.
Perry menyebut angka defisit US$ 8,4 miliar masih sesuai dengan yang diperkirakan oleh BI. Meski begitu, BI sebelumnya memprediksi persentase CAD terhadap PDB di triwulan II 2019 ini hanya sekitar 2,9 persen saja. Tapi, ternyata defisit tembus 3 persen.
Dari data terakhir, pertumbuhan PDB atau ekonomi secara nasional memang tercatat lebih rendah, seperti yang disampaikan oleh Perry. Senin, 5 Agustus 2019, Badan Pusat Statistik atau BPS mencatat pertumbuhan ekonomi triwulan II 2019 hanya sebesar 5,05 persen. Angka ini lebih rendah dari pertumbuhan triwulan I 2019 yang sebesar 5,07 persen dan triwulan II 2019 yang sebesar 5,27 persen.
Kepala BPS Suhariyanto mengatakan perekonomian Indonesia pada triwulan II sejalan dengan kondisi ekonomi global juga menunjukkan perlambatan. Berdasarkan data yang dihimpun BPS, ekonomi mitra dagang Indonesia, seperti Cina, Amerika Serikat, Singapura, dan Korea Selatan mengalami pertumbuhan lebih lambat ketimbang periode yang sama pada tahun sebelumnya.
Meski demikian, angka terbesar sudah pernah terjadi pada triwulan III 2018. Saat itu, defisit transaksi berjalan mencapai US$ 8,8 miliar atau 3,37 persen, melampaui batas aman. Defisit ini juga menjadi yang terbesar di era pemerintahan Presiden Joko Widodo atau Jokowi.
Direktur Eksekutif Departemen Pengelolaan Moneter BI Nanang Hendarsah pernah menyampaikan defisit transaksi berjalan menjadi hambatan pertumbuhan ekonomi Indonesia. Sebab, Indonesia masih mengandalkan barang komoditas untuk aktivitas ekspor, sehingga ketika harga komoditas turun, ekspor ikut turun.
"Beberapa hal memang masih menjadi tantangan itu defisit karena memang Indonesia masih sangat mengandalkan harga komoditas, sehingga harga komoditas turun, ekspor ikut turun. Ini yang men-down grade kita," kata Nanang saat acara acara Bank OCBC NISP Coffee Morning Talk bertema Meningkatkan Iklim Investasi Keuangan di Indonesia, di Jakarta Pusat, Senin, 15 Juli 2019.