TEMPO.CO, Jakarta - Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution mengakui bahwa Indonesia masih memiliki kelemahan dalam bidang perdagangan internasional. "Indikator neraca pembayaran, saya kira (adalah( titik lemah kita yang utama," kata Darmin dalam peringatan 53 tahun Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian bertema Transformasi Ekonomi di Hotel Borobudur, Jakarta, Jumat, 9 Agustus 2019.
Di tahun kelima pemerintahan Presiden Joko Widodo atau Jokowi ini, Darmin melihat kinerja pemerintah cukup memuaskan. Selama ini pemerintah mampu mewujudkan pertumbuhan yang cukup baik di antara berbagai negara dalam lingkungan global yang sedang bergejolak.
Bukan hanya pertumbuhan ekonomi yang lebih baik, kata dia, tapi juga ada satu hal yang tak bisa kita wujudkan dengan baik sejak lama, yaitu inflasi bisa terkendali. Darmin pun bercerita bahwa pada masa orde baru, inflasi selalu dua digit, jarang di bawah 10 persen. "Sekarang 3 persen dan itu berlangsung terus menerus empat tahun," ujarnya.
Tidak hanya itu, kata Darmin, indikator sosial ekonomi seperti tingkat pengangguran, kemiskinan, gini ratio, semuanya membaik. Sehingga, kata dia, dalam pembangunan kaidah pembangunan ekonomi itu bisa pertumbuhan ekonomi bisa disebut pertumbuhan sehat dengan ekonomi sosialnya yang membaik. "Tentu tidak memberarti mengatakan semua beres," katanya.
Di luar capaian itu, kata dia, Indonesia sedang memasuki suatu masa yang dikatakan sebagai periode bonus demografi. Dengan pertumbuhan 5 persen saat ini, dia mempertanyakan apakah Indonesia sudah mampu menyelesaikan atau memanfaatkan bonus demografi nantinya. "Pertumbuhan angkatan kerja kita berada di atas 3 persenan. Dan itu dibutuhakan pertumbuhan ekonomi lebih tinggi," kata Darmin.
Hari ini, Bank Indonesia menyampaikan bahwa defisit neraca transaksi berjalan pada kuartal II/2019 kembali melebar, menjadi 3 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB). Sebelumnya, neraca transaksi berjalan ini sempat membaik di level 2,6 persen pada pada kuartal I/2019.
Bank Indonesia mencatat, defisit neraca pembayaran / transaksi berjalan telah meningkat dari US$ 7 miliar atau 2,6 persen dari PDB menjadi US$8 ,4 miliar atau 3,0 dari PDB. Direktur Eksekutif Departemen Komunikasi Bank Indonesia Onny Widjanarko mengatakan, pelebaran defisit transaksi berjalan atau current account deficit (CAD) dipengaruhi perilaku musiman repatriasi dividen dan pembayaran bunga utang luar negeri.
HENDARTYO HANGGI