TEMPO.CO, Jakarta - Koordinator Advokasi BPJS Watch Timboel Siregar meminta pemerintah berhati-hati dalam menetapkan kenaikan iuran peserta mandiri Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan. Ia tak ingin kebijakan ini justru menjadi kontraproduktif.
"Bertahap saja kenaikan iuran mandiri," ujar Yimboel kepada tempo, Rabu petang, 7 Agustus 2019. Ia mengusulkan kenaikan iuran kelas 3 menjadi Rp 27.000 dan kelas 2 menjadi RP 55.0000.
Kenaikan itu, kata Timboel, juga harus dibarengi dengan peningkatan pelayanan BPJS Kesehatan. Sehingga peserta bisa percaya dan menerima kenaikan tarif iuran tersebut.
"Bentuk peningkatan pelayanan kepada peserta, misalnya seperti BPJS mencarikan ruang perawatan secara langsung bila peserta mengalami kesulitan mencari, apalagi ruang perawatan khusus seperti ICU, PICU, NICU, HCU, dan lainnya," kata Timboel. Selain itu, BPJS Kesehatan juga diharapkan bisa memastikan tidak ada lagi antrean panjang peserta JKN untuk diperiksa dokter dan mendapatkan pelayanan operasi.
Sebelumnya, Dewan Jaminan Sosial Nasional atau DJSN telah mengusulkan besaran kenaikan iuran kepesertaan BPJS Kesehatan untuk anggota mandiri atau pekerja bukan penerima upah (PBPU) kepada pemerintah. Dalam usulan tersebut, DJSN meminta premi untuk seluruh kelas naik mulai Rp 16.500 hingga 40 ribu.
"Rinciannya, besaran iuran yang diusulkan DJSN untuk kelas I Rp 120 ribu," ujar Wakil Ketua Komisi Kebijakan DJSN, Ahmad Anshori saat dihubungi Tempo pada Rabu, 7 Agustus 2019 melalui pesan pendek.
Dari usulan tersebut, premi kelas I tampak yang mengalami kenaikan paling signifikan. Sebelumnya, iuran anggota PBPU untuk kelas ini hanya Rp 80 ribu. Sedangkan kelas II diusulkan naik Rp 29 ribu, yakni dari semula Rp 51 ribu menjadi Rp 80 ribu.
Selanjutnya, iuran untuk kelas III diusulkan naik Rp 16.500. Bila semula premi untuk kelas ini hanya Rp 25.500, kini DJSN meminta pemerintah mematok menjadi Rp 42 ribu.
Ahmad mengatakan, usulan ini dilatari oleh berbagai pertimbangan. Pertama, kenaikan premi menyesuaikan dengan nilai keekonomian pelayanan jaminan kesehatan nasional. "Kami telah mengacu pada data realisasi belanja jaminan kesehatan nasional selama 2014-2018," ujar Ahmad.
Dengan penyesuaian tarif iuran, DJSN memperkirakan persoalan defisit anggaran BPJS yang diperkirakan mencapai Rp 28 triliun akan kelar dalam rentang dua tahun. Malah, menurut dia, besaran anggaran ini akan membuat BPJS surplus Rp 4,8 triliun.