TEMPO.CO, Jakarta - Presiden Joko Widodo atau Jokowi menyatakan akan membahas khusus isu diskriminasi minyak kelapa sawit atau CPO oleh Uni Eropa dalam kunjungannya ke Malaysia.
“Banyak hal yang perlu kita bicarakan dengan Tun Mahathir Muhammad [Perdana Menteri Malaysia]. Terutama yang berkaitan dengan perbatasan, tenaga kerja kita. Termasuk mengenai minyak kelapa sawit kita, itu yang utama,” kata Jokowi seusai menghadiri peresmian gedung sekretariat Asean di Jakarta, Kamis 8 Agustus 2019.
Indonesia dan Malaysia adalah produsen CPO terbesar yang paling dirugikan oleh rencana penerapan bea masuk anti dumping oleh Uni Eropa (UE) terhadap biodiesel CPO. Komisi Eropa mengajukan bea impor antara 8-18 persen untuk impor biodiesel dari CPO asal Indonesia. Pada Maret 2019, UE memutuskan bahwa minyak kelapa sawit tidak lagi dianggap ramah lingkungan sehingga harus dihapuskan dari bahan bakar transportasi terbarukan.
Namun, hambatan tarif yang Uni Eropa (UE) terhadap biodiesel CPO melalui pengenaan bea masuk antisubsidi (BMAS) ternyata baru diberlakukan untuk Indonesia. Sementara Malaysia yang juga produsen CPO terbesar belum dikenai hambatan serupa sehingga bisa mengambil alih pasar Indonesia di Eropa.
“Bisa saja kinerja ekspor biodiesel kita kalah dari Malaysia. Negara tersebut juga bisa masuk mengisi celah yang kita tinggalkan di UE. Namun, UE selama ini tidak mengganggu biodiesel Malaysia, lantaran Negeri Jiran itu belum sama sekali mengekspor produk itu ke Eropa,” kata Ketua Umum Asosiasi Produsen Biofuel Indonesia (Aprobi) Master P. Tumanggor seperti dilansir Bisnis, Selasa 30 Juli 2019.
Tumanggor mengakui, harga biodiesel Malaysia jauh lebih mahal dibandingkan dari Indonesia, sehingga sulit untuk dikenai tuduhan subsidi. Namun, apabila Malaysia berhasil memasok biodiesel ke UE, produk tersebut juga akan dikenai hambatan dagang oleh blok negara terbesar Eropa tersebut.
Menurut dia, kini UE sedang berusaha menangkal produk CPO dari negara manapun untuk masuk ke kawasannya.
BISNIS