TEMPO.CO, Jakarta - Perusahaan dan asosiasi perdagangan Amerika Serikat mungkin terpaksa harus mengurangi jumlah pekerjanya, menyusul tak kunjung redanya perang dagang AS-Cina. Tingginya tarif impor untuk produk Cina yang ditetapkan Presiden Donald Trump membuat sejumlah perusahaan kesulitan mendapatkan komponen atau bahan baku untuk produksinya.
Sampai saat ini, sejumlah perusahaan AS yang membutuhkan produk Cina masih berusaha untuk bernegosiasi dengan pemerintah AS. Mereke meminta agar produk yang mereka butuhkan untuk produksi dapat dicabut dari daftar tarif potensial.
Daftar barang yang diusulkan, yang diterbitkan USTR pada pertengahan Mei 2019, termasuk produk konsumer seperti telepon pintar, laptop, pakaian dan mainan.
CEO Basic Fun! Jay Foreman, sebuah perusahaan mainan di Florida, mengatakan bahwa dia tidak memiliki pilihan lain selain mengurangi jumlah pekerja dengan persentase yang sama seperti besaran tarif untuk menjaga bisnis.
"Di sini, kami tidak memproduksi mainan menggunakan tenaga makhluk ajaib seperti peri dari Kutub Utara. Pekerja AS merancang, mengembangkan, menjual, mengirim dan mengangkut mainan kami," ujar Foreman, seperti dikutip Bloomberg, Kamis 8 Agustus 2019.
Adapun penasihat ekonomi Gedung Putih Larry Kudlow pekan ini mengisyaratkan tarif dapat dibatalkan sebelum 1 September. Asalkan, Beijing menunjukkan niat baik untuk membeli hasil pertanian Amerika dan kembali ke meja perundingan.
"Presiden dan tim kami merencanakan kunjungan ke Cina pada September. Progress menuju kesepakatan yang baik akan sangat positif dan mungkin mengubah situasi tarif. Tapi, mungkin juga tidak," ujar Kudlow.
Sebelumnya, Pemerintahan Trump mempercepat proses finalisasi daftar impor China senilai US$300 miliar yang rencananya menjadi target tarif baru dalam beberapa pekan ke depan. Langkah ini di ambil setelah perusahaan AS memohon agar terhindar dari kebijakan tarif terbaru.
Perang dagang kedua negara yang tak kunjung reda ini juga telah membuat bursa saham Wall Street rontok. Tak pelak sekitar 500 orang terkaya di dunia terdampak dan kehilangan total Rp 1.638 triliun dalam sehari karena nilai sahamnya berguguran di Wall Street.
BISNIS