TEMPO.CO, Jakarta - Koordinator Bidang Advokasi BPJS Watch Timboel Siregar tak setuju dengan usulan kenaikan iuran peserta mandiri atau peserta bukan penerima upah (PBPU) BPJS Kesehatan uang diusulkan Dewan Jaminan Sosial Nasional atau DJSN.
Sebelumnya DJSN mengusulkan kenaikan iuran sebesar 60 persen. Menurut dia, besaran iuran yang melonjak signifikan justru membuat jumlah utang PBPU meningkat. "Saat ini saja (utang PBPU BPJS Kesehatan) per 30 Juni 2019 sebesar Rp 2,4 triliun," ujar Timboel dalam pesan pendek kepada Tempo, Kamis, 8 Agustus 2019.
Timboel memperkirakan, bila pemerintah mengabulkan usulan DJSN, masyarakat bakal merasa keberatan. Utang yang tercatat untuk kelompok PBPU pun hingga akhir tahun diramalkan dapat menembus Rp 6 triliun.
Kejadian penolakan masyarakat atas kenaikan iuran PBPU BPJS Kesehatan ini sejatinya pernah terjadi pada 2016 lalu. Kala itu, peserta mandiri yang masuk golongan kelas III protes lantaran pemerintah mengerek besaran iuran dari Rp 25.500 menjadi Rp 30 ribu sesuai dengan hitungan aktuaris.
Adapun kenaikan tersebut telah diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 19 Tahun 2016. Karena masyarakat menolak, pemerintah akhirnya membatalkan Perpres tersebut dan mengamandemennya dengan aturan baru, yakni Perpres Nomor 28 Tahun 2016. Isinya menyebut bahwa tidak ada kenaikan untuk iuran PBPU kelas III.
Timboel mengakui, sebetulnya iuran BPJS, baik untuk peserta mandiri maupun peserta penerima upah atau PPU, idealnya naik setiap 2 tahun sekali. Namun, ujar dia, besarannya mesti bertahap.
"Bertahap saja sekalian pelayanan BPJS Kesehatan ditingkatkan dulu sehingga bisa menciptakan kepercayaan peserta kepada badan. Karenanya, kalau iuran dinaikkan iurannya, peserta mandiri tidak menolak," ucapnya.
Timboel menyarankan pemerintah mengerek besaran iuran PBPU kelas III dari yang semula Rp 25.500 menjadi Rp 27.000-27.500. Sedangkan kelas II dari yang semula Rp 51 ribu menjadi Rp 55-56 ribu. Sementara itu, besaran iuran kelas I, menurut dia, tak perlu dikerek lantaran sudah sesuai dengan hitungan aktuaris, yakni Rp 80 ribu.
Setelah menaikkan angka iuran, kata Timboel, pemerintah mesti menjamin adanya peningkatan kualitas seperti kemudahan mendapatkan ruang rawat inap hingga rawat khusus. Dengan begitu, masyarakat tak akan menolak adanya kenaikan iuran secara berkala.
Dihubungi terpisah, Wakil Ketua Komisi Kebijakan DJSN Ahmad Anshori mengatakan dewan telah menyorongkan besaran nilai premi baru untuk PBPU beserta pertimbangannya kepada pemerintah. Ihwal besaran kenaikan tersebut, ia merinci, kelas I akan naik Rp 40 ribu dari semula Rp 80 ribu menjadi Rp 120 ribu.
Sedangkan kelas II naik Rp 29 ribu dari semula Rp 51 ribu menjadi Rp 80 ribu. Kemudian, iuran kelas III diusulkan naik Rp 16.500 dari semula Rp 25.500 menjadi Rp 42 ribu.
Ia menjelaskan, usulan kenaikan premi didasari oleh tiga hal. Di antaranya menyesuaikan nilai keekonomian pelayanan jaminan kesehatan nasional, meningkatkan atau merekomposisi tarif pelayanan, dan menjaga kelangsungan program jaminan kesehatan.
Atas usulan DJSN menaikkan iuran BPJS Kesehatan itu, Timboel mewanti-wanti pemerintah untuk mempertimbangkan lebih jauh. "Saya mendorong pemerintah tidak mengikuti usulan DJSN. Jadi pemerintah harus hati-hati jangan sampai kontraproduktif," ucapnya.