TEMPO.CO, Jakarta - Koordinator Advokasi BPJS Watch Timboel Siregar mengaku tak sepakat dengan usulan Dewan Jaminan Sosial Nasional atau DJSN soal besaran kenaikan iuran kepesertaan BPJS Kesehatan untuk anggota mandiri atau pekerja bukan penerima upah (PBPU) kepada pemerintah. "Itu akan memberatkan masyarakat karena daya beli perserta mandiri tidak diperhitungkan oleh DJSN," ujar Timboel melalui pesan singkat, Rabu, 7 Agustus 2019.
Ia khawatir usulan ini akan mengulang kembali kejadian Peraturan Presiden Nomor 19 Tahun 2016. Melalui beleid itu, iuran kelas 3 naik dari Rp 25.500 per orang per bulan menjadi jadi 30.000 per orang per bulan. Namun, aturan itu lantas ditolak masyarakat dan sebulan setelahnya presiden menandatangani peraturan baru lagi, yaitu Perpres Nomor 28 tahun 2016 yang menurunkan kembali iuran kelas 3 mandiri ke angka semula yaitu Rp. 25.500 per orang per bulan.
Di samping itu, kata Timboel, kalau usulan DJSN diterima pemerintah, maka utang iuran peserta mandiri akan meningkat drastis. Data per 30 juni 2019, utang peserta mandiri adalah sebesar Rp 2,4 triliun. Angka itu masih hitungan utang 1 bulan. "Kalau mengikutkan utang 23 bulan lainnya maka utang mandiri bisa tembus Rp 5 triliun lebih."
Sebelumnya, Dewan Jaminan Sosial Nasional atau DJSN telah mengusulkan besaran kenaikan iuran kepesertaan BPJS Kesehatan untuk anggota mandiri atau pekerja bukan penerima upah kepada pemerintah. Dalam usulan tersebut, DJSN meminta premi untuk seluruh kelas naik mulai Rp 16.500 hingga 40 ribu.
"Rinciannya, besaran iuran yang diusulkan DJSN untuk kelas I Rp 120 ribu," ujar Wakil Ketua Komisi Kebijakan DJSN, Ahmad Anshori saat dihubungi Tempo pada Rabu, 7 Agustus 2019 melalui pesan pendek.
Dari usulan tersebut, premi kelas I tampak yang mengalami kenaikan paling signifikan. Sebelumnya, iuran anggota PBPU untuk kelas ini hanya Rp 80 ribu. Sedangkan kelas II diusulkan naik Rp 29 ribu, yakni dari semula Rp 51 ribu menjadi Rp 80 ribu.
Selanjutnya, iuran untuk kelas III diusulkan naik Rp 16.500. Bila semula premi untuk kelas ini hanya Rp 25.500, kini DJSN meminta pemerintah mematok menjadi Rp 42 ribu.
Ahmad mengatakan, usulan ini dilatari oleh berbagai pertimbangan. Pertama, kenaikan premi menyesuaikan dengan nilai keekonomian pelayanan jaminan kesehatan nasional. "Kami telah mengacu pada data realisasi belanja jaminan kesehatan nasional selama 2014-2018," ujar Ahmad.
Dengan penyesuaian tarif iuran, DJSN memperkirakan persoalan defisit anggaran BPJS Kesehatan yang diperkirakan mencapai Rp 28 triliun akan kelar dalam rentang dua tahun. Malah, menurut dia, besaran anggaran ini akan membuat BPJS surplus Rp 4,8 triliun.
FRANCISCA CHRISTY