TEMPO.CO, Jakarta - Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia atau Aprindo Roy Nicolas Mandey menyayangkan pemadaman listrik PLN yang terjadi di Jabodetabek, Jawa Barat dan Banten pada Minggu, 4 Agustus 2019.
Menurut dia, potensi kerugian material anggota Aprindo akibat black out itu ditaksir total lebih dari Rp 200 miliar pada 82 pusat perbelanjaan dan 2.500 lebih toko ritel modern swa kelola di Jakarta.
"PLN seyogyanya memberi pengumuman terlebih dahulu kepada pelaku usaha agar bisa mempersiapkan cara tetap memberi pelayanan maksimal kepada konsumen dan masyarakat pun tetap bisa mendapat haknya sebagai konsumen," kata Roy dalam keterangan tertulis, Senin, 5 Agustus 2019.
Dia melihat kenyamanan masyarakat juga terganggu karena fasilitas yang seharusnya mereka dapatkan tidak bisa berfungsi normal, seperti jaringan pembayaran elektronik, kualitas produk yang bisa menurun, dan sebagainya.
Terutama di hari Minggu di mana banyak masyarakat justru menghabiskan waktu luangnya di gerai ritel modern atau pusat perbelanjaan. “Potensi kehilangan penjualan terlihat betul, karena masyarakat akhirnya enggan atau membatalkan keinginan berbelanja nya,” ujarnya.
Biaya operasional juga ikut membengkak, karena beberapa gerai menggunakan genset diesel agar bisa tetap buka melayani masyarakat. “Demi kenyamanan konsumen, kami menggunakan genset diesel berbahan bakar solar yang tentu berimbas pada naiknya biaya operasional, dan itu seharusnya tidak perlu kami keluarkan," kata Roy.
Roy mengatakan bahwa PLN sebagai satu-satunya perusahaan yang mensuplai listrik seharusnya bisa bertindak lebih cepat dan tanggap apabila ada gangguan gardu listrik, seperti yang diberitakan. “Kami setuju bahwa seharusnya PLN mempunyai sistem mumpuni untuk mengantisipasi masalah semacam ini, back up plan yang reaktif terhadap gangguan dan contigency plan yang terencana," kata dia.
Karena pemadaman listrik yang berlangsung lama dan mencakup area yang cukup luas berdampak pada pelaku usaha dan masyarakat sebagai pelanggan PLN.