TEMPO.CO, Jakarta - Defisit keuangan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan atau BPJS Kesehatan yang tahun ini diperkirakan menembus Rp 28 triliun membuat pemerintah mempertimbangkan sejumlah opsi penyelamatan.
Salah satunya adalah soal kenaikan iuran. Beberapa waktu lalu, Wakil Presiden Jusuf Kalla atau JK sudah memberi lampu hijau atau gagasan ini, namun langkah pemerintah untuk mempraktikkannya terlihat masih mengambang.
Terkait hal ini, Menteri Kesehatan Nila Moeloek pun tak bisa banyak bicara menanggapi isu kenaikan iuran yang diharapkan menjadi solusi bagi sistem keuangan BPJS meski dinilai memberatkan masyarakat. "Belum ada keputusan," ujarnya saat ditemui di JCC Senayan, Jakarta Pusat, Senin, 5 Agustus 2019.
Menurut Nila, kenaikan iuran BPJS Kesehatan juga perlu didiskusikan dengan lintas kementerian terkait dalam hal ini Kementerian Keuangan, yang sampai saat ini masih bersifat wacana. "Saya nggak bisa ngomong karena yang memutuskan Menkeu. Dan ini masih dalam diskusi," ucapnya.
Lebih jauh Nila menyarankan untuk masyarakat tetap bersabar menunggu keputusan realisasi kenaikan iuran tersebut. Pasalnya, pemerintah masih menimbang baik dan buruk implementasi kebijakan tersebut terhadap masyarakat, institusi BPJS Kesehatan dan beberapa bidang terkait.
"Dilihat, kalau dinaikkan dampaknya seperti apa dan kalau tidak seperti apa. Jadi sabar, sabar, tunggu dulu," kata Nila.
Sebelumnya, JK menyebutkan ada tiga strategi yang akan dilakukan pemerintah untuk membantu BPJS Kesehatan keluar dari jerat defisit. Pertama, pemerintah dengan menaikkan besaran premi yang harus dibayarkan oleh peserta jaminan.
“Berapa naiknya itu akan dibahas oleh tim teknis. Masyarakat seharusnya menyadari bahwa iurannya itu (sekarang) rendah, sekitar Rp 23 ribu. Itu tidak sanggup sistem kita," kata JK di Kantor Wapres Jakarta, Selasa, 30 Juli 2019.
Strategi kedua, BPJS Kesehatan memperbaiki manajemen dengan menerapkan sistem kendali di internal institusi tersebut. Adapun strategi ketiga, pemerintah akan kembali menyerahkan wewenang jaminan sosial kesehatan tersebut ke masing-masing pemerintah daerah.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati sebelumnya juga meminta BPJS Kesehatan untuk memperbaiki sistemnya secara keseluruhan di antaranya untuk mengantisipasi adanya fraud atau kecurangan. "Kemarin ada indikasi kemungkinan terjadi fraud, itu perlu di-address," ujar Sri Mulyani di Gedung Bank Indonesia, Jakarta, Selasa, 30 Juli 2019.
Oleh karena itu, Sri Mulyani menyarankan BPJS Kesehatan membangun sistem untuk menanggulangi kemungkinan terjadinya kecurangan seperti overclaim, misalnya ketika pasiennya tidak ada tapi tetap ada klaim pembayaran. Basis data kepesertaan, sistem rujukan antara puskesmas dan rumah sakit ke BPJS, hingga sistem menangani tagihan juga harus diperbaiki. "Termasuk sistem akuntasi dari BPJS Kesehatan dalam menangani tagihan yang belum tertagih, itu juga salah satu temuan BPKP."
Presiden Joko Widodo, menurut Sri Mulyani, juga berharap peranan pemerintah daerah bisa lebih besar dalam melakukan screening, koordinasi, pengendalian, hingga pengawasan fasilitas kesehatan di tingkat lanjut atau tingkat rumah sakit. Melalui langkah itu saja, BPJS Kesehatan diyakini bisa berhemat puluhan hingga ratusan miliar rupiah.
BISNIS