TEMPO.CO, Jakarta - Menteri Keuangan Sri Mulyani membeberkan sejumlah perbedaan terkait permasalahan pengelolaan keuangan negara pada era pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono dan Joko Widodo. Menurut dia, permasalahan keuangan yang dihadapi di masa Presiden SBY dan Jokowi berlainan.
Di masa pemerintahan SBY, tutur Sri Mulyani, harga minyak mentah meningkat menjadi US$90 per barel. Hal ini menyebabkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) goyah. Hal ini memaksa pemerintah untuk mengeluarkan subsidi lebih besar serta melakukan penyesuaian di segala lini.
Saat itu, Sri Mulyani juga ditugasi untuk mengalokasikan perlindungan bagi warga miskin dan oleh karena itu dibuatlah Bantuan Langsung Tunai (BLT). Dampak dari krisis 1998 pun masih memiliki pengaruh pada APBN. "Itu situasi yang dihadapi Pak SBY. Poinnya waktu itu kita harus melaksanakan program baru dan tetap jalan," ujarnya, Jumat 2 Agustus 2019.
Tantangan yang berbeda muncul di era pemerintahan Presiden Jokowi. Harga minyak pada pemerintahan Jokowi berada di angka US$30 per barel, berbanding terbalik dengan masa pemerintahan SBY di mana harga minyak cenderung tinggi."Setiap zaman pasti ada tantangan khusus," ungkap Sri Mulyani.
Menkeu mengungkapkan, tantangan pada masa pemerintahan Jokowi adalah tingginya ketidakpatuhan oleh Wajib Pajak (WP) dan munculnya kebijakan tax amnesty."Waktu saya datang bulan Juli 2016, UU Tax Amnesty sudah ada tetapi peraturan belumm komplit sedangkan masyarakat sudah bertanya. Itulah yang menjadi tantangan sangat besar," kata Sri Mulyani.
Ketika menggantikan Bambang Brodjonegoro sebagai Menkeu, Sri Mulyani bercerita bahwa dirinya meminta waktu 2 hari kepada Jokowi dalam rangka mempelajari APBN yang dipandang tidak sustainable. Setelah mempelajari APBN dan mempelajari letak permasalahannya, Menkeu dalam sidang kabinet meminta agar anggaran sebesar Rp170 triliun dipotong dari APBN. "Kami potong yang paling kecil pengaruhnya pada ekonomi Indonesia dan tax amnesty bisa jalan."
BISNIS