TEMPO.CO, Jakarta - Ketua Kamar Dagang dan Industri Indonesia Rosan Perkasa Roeslani mengatakan salah satu kendala pada penerapan standar perkebunan kelapa sawit atau Indonesia Sustainable Palm Oil atau ISPO terletak pada para pekebun rakyat. Kata dia, dari 40 persen pekebun rakyat di Indonesia baru 0,1 persen yang mencapai standar.
"Masalahnya, misalnya pembiayaan dan kendala karena berada di kawasan hutan," ujar Rosan dalam diskusi 'Menciptakan Industri Sawit yang Berkelanjutan' yang diselenggarakan Tempo Media Group dan Kadin Indonesia di Hotel Borobudur, Jakarta, Rabu, 31 Juli 2019. Ia mengatakan pemerintah harus mencari cara menghadapi tantangan itu.
Indonesia memang telah menerapkan tata kelola sawit berdasarkan Indonesia Sustainable Palm Oil atau ISPO yang memiliki standar di atas rata-rata kriteria yang dipersyaratkan oleh lembaga sertifikasi internasional. ISPO ditetapkan pada tahun 2009 oleh pemerintah agar semua pihak di sektor kelapa sawit memenuhi standar pertanian yang telah ditetapkan dengan tujuan untuk meningkatkan daya saing produk sawit Indonesia di pasar global. Sistem sertifikasi ISPO mengacu kepada standar internasional dan penilaian kesesuaian Komite Akreditasi Nasional atau KAN.
Secara umum, Rosan mengatakan persoalan kelapa sawit memang perlu diangkat karena tekanan terhadap produk tersebut sangat banyak. Padahal industri kelapa sawit memberi pemasukan besar kepada negara. Di samping tersebut, industri sawit juga menyerap banyak tenaga kerja, yaitu 5,5 juta tenaga kerja langsung dan secara tidak langsung 12 juta orang.
Salah satu kendala yang dihadapi adalah untuk masuk ke Uni Eropa. Pasalnya, Parlemen UE mengeluarkan 'Delegated Act Renewable Energy Directive' (RED) II pada tahun 2018, yang mengusulkan penghentian konsumsi biodiesel berbasis sawit dari Indonesia. Jauh sebelumnya, pada April 2017, Parlemen Uni Eropa juga menerbitkan resolusi tentang Minyak Kelapa Sawit dan Deforestasi Hutan Hujan Tropis.
Resolusi itu melarang penggunaan produk sawit asal Indonesia. Salah satunya adalah penolakan penggunaan CPO sebagai bahan bakar kendaraan bermotor oleh Uni Eropa. Sehingga Uni Eropa akan melarang pemanfaatan minyak kelapa sawit dan turunannya sebagai bahan pembuatan biofuel pada 2030 mendatang.
"Isu ini bisa menghambat industri sawit Indonesia. Kami akan terus meyakinkan publik dunia bahwa Indonesia sudah berkomitmen menjalankan praktek pengelolaan hutan berkelanjutan seperti yang ditetapkan dalam MDG's dan SDG's, seharusnya tidak ada isu lagi bagi industri sawit Indonesia di pasar Uni Eropa," kata Rosan.
Karena itu, tak hanya dukungan dalam sertifikasi ISPO, Rosan juga berharap agar Indonesia-EU Comprehensive Economic Agreement dapat segera terealisasi. Pasalnya dalam persaingan pasar sawit dunia, Indonesia juga mulai tergeser oleh Malaysia dan India yang memiliki Comprehensive Economic Cooperation Agreement India-EU, dimana tarif sawit India mendapatkan penurunan dari 54 persen menjadi 45 persen. "Sedangkan Indonesia tetap dikenakan tarif 54 persen, sehingga pasar sawit Indonesia direbut Malaysia."