TEMPO.CO, Jakarta - Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (Core), Mohammad Faisal mengatakan kondisi perekonomian dunia hingga akhir tahun 2019 diperkirakan tumbuh lebih lambat dibanding tahun 2018. "Perlambatan itu terutama dipicu oleh melambatnya pertumbuhan tiga ekonomi terbesar, yakni Amerika Serikat, Cina dan Uni Eropa," kata Faisal di Hong Kong Cafe, Jakarta, Selasa, 30 Juli 2019.
Dia mengatakan pertumbuhan ekonomi AS diprediksi melambat dari 2,86 persen pada 2018 menjadi 2,33 persen tahun ini, sementara ekonomi Tiongkok dan Uni Eropa diperkirakan hanya tumbuh masing-masing 6,27 persen dan 1,56 persen di tahun ini, lebih rendah dibanding 2018 yang mencapai 6,57 persen dan 2,13 persen.
Perlambatan pertumbuhan ekonomi dunia juga disampaikan sejumlah badan internasional termasuk IMF melakukan koreksi tajam terhadap pertumbuhan ekonomi dunia di tahun 2019 ini. Pada Oktober tahun lalu IMF, sebenarnya masih optimis ekonomi dunia akan tumbuh lebih cepat dari 3,6 persen pada 2018 menjadi 3,94 persen di tahun ini.
Pada April 2019, IMF mengoreksi pertumbuhan ekonomi global menjadi hanya 3,33 persen. Sejalan dengan perlambatan pertumbuhan PDB, volume perdagangan dunia diperkirakan juga tumbuh lebih lamban pada tahun ini.
Melambannya perdagangan dunia ini, kata dia, tidak hanya dipicu oleh perlambatan ekspor dan impor dua negara yang sedang terlibat perang dagang, yakni AS dan Cina, tetapi juga negara-negara lain termasuk Jepang. Meski demikian, IMF memprediksi volume perdagangan Uni Eropa tahun ini masih akan tumbuh lebih tinggi dibandingkan tahun 2010.
"Melemahnya permintaan dunia juga berakibat pada penurunan harga komoditas, termasuk minyak sawit dan batubara yang merupakan andalan ekspor Indonesia," kata dia.
Harga rata-rata minyak sawit pada bulan Juni 2019 yang hanya US$ 552,19 per metrik ton, atau kurang dari separuh harga rata-rata Januari 2018 yang mencapai US$ 1.265 dollar AS per metrik ton. Demikian pula harga rata-rata batubara pada bulan Juni 2019 sebesar US$ 72,49 jauh berada di bawah harga rata-rata Juli 2018 yang mencapai US$ 119,57 per metrik ton.
"Lemahnya permintaan global juga berdampak pada harga minyak dunia yang secara rata-rata dari Januari hingga Juni 2019 masih lebih rendah dibanding rerata harga pada periode yang sama tahun lalu," kata Faisal.
Meski demikian, kata dia, pelemahan harga minyak ini masih tertahan oleh kebijakan production cut yang dilakukan oleh negara-negara OPEC dan sekutunya. Disamping itu, pergerakan harga minyak juga memiliki ketidakpastian yang lebih tinggi dibanding komoditas lainnya karena banyak dipengaruhi oleh faktor geopolitik, seperti embargo AS terhadap Iran, yang sangat dinamis dan unpredictable.
"Oleh sebab itu, harga minyak dunia masih memiliki peluang untuk kembali meningkat walaupun permintaan global melemah, dan ini akan membawa dampak buruk pada ekonomi negara-negara net eksportir minyak seperti Indonesia," ujarnya.