TEMPO.CO, Banda Aceh – Kebijakan Bupati Aceh Besar, Mawardi Ali, yang meminta kegiatan operasional Bandara Internasional Sultan Iskandar Muda (SIM) dihentikan sementara pada Hari Raya Idul Adha dan Idul Fitri menuai polemik. Pro dan kontra terjadi di tengah-tengah masyarakat terkait imbauan kontroversial yang dikeluarkan Bupati Mawardi pada pekan lalu.
Lalu bagaimana sebenarnya latar belakang Bandara Internasional Sultan Iskandar Muda ?
Bandar Udara Internasional Sultan Iskandar Muda (SIM) merupakan bandara yang menjadi pintu gerbang masyarakat dari dan menuju Kota Banda Aceh dan sekitarnya. Berada di kawasan Kecamatan Blang Bintang, Aceh Besar, Bandara SIM dibangun oleh Pemerintah Jepang pada tahun 1943.
Saat pertama kali dibangun, Bandara SIM dikenal dengan nama Bandara Blang Bintang. Di awal, Bandara SIM (Blang Bintang) memiliki landasan pacu berbentuk T dengan ukuran 1400 x 30 meter. Sempat ditutup beberapa tahun, Bandara Blang Bintang kembali dibuka pada 1953. Pesawat jenis DC-3 Dakota atau dalam versi militer disebut C-47 menjadi burung besi pertama yang mendarat setelah dibuka kembali.
Pada tahun 1968, Bandara SIM (Blang Bintang) melakukan perluasan landasan pacu hingga 1.850 x 45 meter. Jelang penyelenggaran MTQ Nasional di Banda Aceh, bandara kembali mengalami perkembangan ditahun 1993 dan 1994 dengan perpanjangan landasan pacu menjadi 2.250 x 45 meter yang dapat menampung pesawat jenis Douglas DC-9 dan Boeing 737.
Pada tahun 1994, Bandara SIM (Blang Bintang) bergabung dengan PT (Persero) Angkasa Pura II. Setahun kemudian, nama pemimpin Kesultanan Aceh dari tahun 1907 hingga 1636, Sultan Iskandar Muda, disematkan sebagai nama resmi Bandara. Diikuti dengan penambahan landasan pacu sepanjang 2.500 meter yang dapat menampung pesawat jenis Airbus 330.