TEMPO.CO, Bandung - Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil mengatakan, lebih dari 140 perusahaan di Jawa Barat tutup, atau pindah dari wilayahnya gara-gara upah.
“Ada 100-an lebih pabrik yang tutup di Jawa Barat, ada yang pindah juga. Totalnya ada 140-an, antara yang tutup dan pindah. Pindah terbagi ada yang pindah ke provinsi lain, ada yang keluar negeri. Hampir semua, alasan penutupan itu berkaitan dengan upah yang tinggi,” kata dia selepas bertemu dengan perwakilan ILO, di Bandung, Senin 29 Juli 2019.
Ridwan Kamil mengatakan, upah di Jawa Barat bervariasi karena sistem upah Indonesia yang terdesentralisasi pada kepala daerah. Soal sistem upah inilah yang disoroti perwakilan ILO.
“Ini yang jadi sorotan mereka, subjektivitas pengupahan ini gap-nya terlalu jauh. Contoh Pangandaran Rp 1,6 juta, kalua tidak salah dengan Karawang Rp 4,2 juta, bisa sampai Rp 2,5 juta bedanya,” kata Ridwan.
Menurut Ridwan Kamil, ILO akan membantu menyiapkan usulan pada pemerintah pusat mengenai sistem pengupahan yang relatif lebih baik. “Hasil ILO ini akan memberikan usulan sistem pengupahan yang lebih baik menurut standar rasa keadilan, sehingga bisa menjaga kualitas ekonomi Jawa Barat jangan sampai terkorbankan. Buruh ikut sejahtera, tapi investasi tidak ada yang pergi dari Jawa Barat,” kata dia.
Ridwan Kamil mengatakan, ILO menawarkan usulan agar Indonesia mengelompokkan jenis industri berdasarkan provinsi, lalu daerah masing-masing menawarkan penghitungan sistem kebutuhan layak yang wajar di tiap daerah. “Misalkan Jabar fokus ke manufaktur, Jateng khusus yang tekstil atau apa, itu harus pusat (yang memutuskan). Sehingga nanti industri tidak terlalu beragam. Perbedaan keragaman industri yang mengakibatkan upahnya itu jomplangnya gak pernah selesai,” kata dia.
Ketua Apindo Jawa Barat Dedy Widjaja membenarkan kesenjangan upah yang dinilainya cukup besar di Jawa Barat. “Upah di Jawa Barat itu ada yang sangat tinggi, diantaranya tertinggi di Indonesia yaitu di Karawang. Ada juga upah yang daerah lain seperti Majalengka dan Pangandaran di bawah Rp 2 juta. Tapi masih banyak perusahaan yang keluar dari Jawa Barat, dia pindah keluar negeri, ada yang ke Jateng dan sebagainya,” kata dia, Senin, 29 Juli 2019.
Dedy mengatakan, sistem upah saat ini membuat kinerja usaha tidak efisien. Dia mencontohkan, protes upah setiap tahun lewat unjuk rasa justru sering terjadi di daerah dengan nilai upah yang sudah tinggi seperti di Karawang dan Bekasi. “Daerah dengan upah yang rendah malah hampir tidak pernah unjuk rasa. Mereka mensyukuri ada industri yang datang ke sana,” kata dia.
Rapat bersama ILO tersebut , tutur Dedy, membahas soal pengelompokan jenis industri berdasarkan besaran upahnya di daerah. “Di daerah yang sudah tinggi khususnya untuk padat modal, padat karya disentralkan di tempat-tempat seperti di Majalengka, Pangandaran, Ciamis, Garut, dan sebagainya. Dengan yang namanya zona ini pasti tidak akan terjadi gejolak-gejolak seperti hari ini,” kata dia.
Sesuai dengan pernyataan Ridwan Kamil, Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Jawa Barat mencatat dalam 3 tahun terakhir terdapat 21 pabrik pindah dari Jawa Barat, dan 143 pabrik tutup. Dari total 164 pabrik, 48 persen merupakan perusahaan garmen, 21 persen pabrik tekstil, dan sisanya manufaktur lain.
AHMAD FIKRI