TEMPO.CO, Jakarta - Manajemen PT Garuda Indonesia masih percaya diri mencetak untung hingga akhir tahun meski telah kehilangan potensi ancillary revenue atau pemasukan tambahan di luar tiket pesawat setelah perseroan memutus kontrak dengan PT Mahata Aero Teknologi Persero. Kerja sama itu disetop sesuai dengan rekomendasi Badan Pemeriksa Keuangan atau BPK.
"Full years kita akan (untung) US$ 70 juta. Kita bisa achieve," ujar Direktur Keuangan dan Manajemen Risiko Garuda Indonesia Fuad Rizal di kantornya, kompleks Bandara Internasional Soekarno-Hatta, Cengkareng, Jumat, 26 Juli 2019.
Fuad mengatakan entitasnya memiliki setidaknya tiga strategi untuk memperbaiki kinerja keuangan perusahaan. Pertama, Garuda Indonesia meminta keringanan beban sewa atau leasing pesawat ke Industrual and Commercial Bank of China alias ICBC Aviation Co. Ltd. Keringanan beban sewa dapat diberikan setelah perseroan memperpanjang masa sewa yang jatuh tempo pada tahun ini.
Masa sewa tersebut diperpanjang menjadi 4 hingga 5 tahun. Dengan demikian, perusahaan dengan emiten GIAA itu dapat menghemat biaya sewa 25-30 persen. Saat ini, sudah ada 10 hingga 15 pesawat yang diperpanjang masa sewanya.
Menurut catatan struktur operasional maskapai, nilai penyewaan pesawat sepanjang 2018 mencapai US$ 882,3 juta. Nilai itu setara dengan 26 persen total beban operasional.
Menilik laporan keuangan Garuda sepanjang 2018, beban pemeliharaan dan perbaikan pesawat secara keseluruhan mencapai US$ 529,3 juta. Sedangkan tahun sebelumnya, beban pemeliharaan dan perbaikan armada selama setahun US$ 429,3 juta.
Strategi kedua adalah menekan pembakaran avtur atau meminimalisasi konsumsi bahan bakar. "Di jam kurang ramai kita kurangi produksi fuel," ujarnya. Fuad mengakui, pengurangan konsumsi avtur akan mengurangi utilitas maskapai. "Namun kita enggak lagi geber utilisasi, tapi menggeber dengan demand," ujarnya.
Menurut Fuad, pada kuartal pertama 2019, biaya konsumsi avtur telah turun 5 persen ketimbang periode yang sama tahun sebelumnya. Padahal, menurut perdagangan global, pada awal 2019 harga avtur naik 20 persen.
Selanjutnya, srategi ketiga, perseroan sedang mencoba mengurangi rute-rute yang dianggap tidak menghasilkan profit, baik untuk domestik maupun internasional. Fuad mencontohkan perusahaannya telah meniadakan rute penerbangan Denpasar-London.
Garuda sebelumnya telah meneken kontrak dengan Mahata untuk mendorong pendapatan di luar tiket. Menurut catatan kontrak Garuda dan Mahata, kerja sama itu membuahkan pendapatan dalam bentuk piutang senilai US$ 239,9 juta atau sekitar Rp 3,47 triliun dengan hitungan kurs Rp 14.481 yang berlaku pada saat itu.
Kerja sama ini ternyata berbuntut masalah. Musababnya, Garuda mencatatkan pendapatan piutang dalam bentuk laba perusahaan untuk pembukuan tahun 2018. Atas piutang itu, Garuda Indonesia mengklaim untung US$ 5,01 juta. Maskapai kemudian dinyatakan bersalah dan diganjar denda serta kewajiban menyajikan penyajian laporan keuangan pada 2018 kembali.
Dalam laporan barunya, Garuda Indonesia ternyata mencatatkan rugi US$ 175,02 triliun setelah piutang Mahata tidak dicantumkan dalam pendapatan. Garuda Indonesia juga diminta memutus kerja samanya dengan Mahata.
"Ihwal putusan BPK soal kerja sama, Citilink Indonesia selaku anak usaha Garuda Indonesia atau pihak yang berkontrak telah mengirimkan surat kepada pihak Mahata Aero Teknologi," ujar Fuad.
FRANCISCA CHRISTY ROSANA