TEMPO.CO, Jakarta - Para ekonom sepakat bahwa penurunan suku bunga acuan tidak akan serta merta membuat realisasi investasi membaik. Direktur Riset Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia, Piter Abdullah mengatakan investasi belum bisa tumbuh tinggi karena masih menghadapi masalah seperti perizinan, pembebasan lahan, pengupahan, hingga konsistensi kebijakan pemerintah pusat.
Selama masalah ini tidak diselesaikan,maka Piter meyakini investasi tidak akan mengalami lompatan, khususnya di Foreign Direct Investment (FDI). “Walau ada penurunan suku bunga dua sampai tiga kali di tahun ini,” kata dia saat ditemui dalam Press Talk Katadata di FX Sudirman, Kamis, 25 Juli 2019.
Sebelumnya pada 18 Juli 2019,Rapat Dewan Gubernur (RDG) Bank Indonesia yang memutuskan untuk menurunkan suku bunga acuan atau BI Rate sebesar 25 basis poin ke level 5,75 persen, setelah bertahan 6 persen sejak 15 November 2019.Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati berharap penurunan ini diikuti oleh tumbuhnya investasi di atas 6 persen pada semester kedua 2019.
Hingga kuartal pertama 2019, Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) memang mencatat realisasi investasi sebesar Rp 195,1 triliun, naik 5,3 persen dibanding periode yang sama tahun 2018 yang sebesar Rp 185,3 triliun. Namun, Sri belum puas karena realisasi investasi sempat menyentuh angka 7 persen pada akhir 2018.
Adapun pada triwulan pertama 2019 tersebut, proporsi untuk Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) adalah sebesar Rp 87,2 triliun, naik 14,1 persen dibanding periode yang sama tahun lalu, Rp 76,4 triliun. Kondisi berbeda terjadi pada Penanaman Modal Asing (PMA) yang mencapai angka Rp 107,9 triliun. Realisasi PMA ini turun tipis 0,9 persen dibanding periode yang sama tahun lalu yang sebesar Rp 108,9 triliun.
Lebih lanjut, Piter menyebut kondisi yang sama terjadi pada penurunan pertumbuhan kredit oleh perbankan untuk mendorong pembiayaan investasi. Piter menilai penyaluran kredit perbankan terbatas lantaran perbankan juga mengalami kesulitan soal likuiditas. Oleh sebab itu, Piter menilai instrumen yang lebih kuat dan efektif untuk mendorong pertumbuhan kredit adalah dengan penurunan Giro Wajib Minimum (GWM).
GWM adalah dana atau simpanan minimum yang harus dipelihara oleh bank dalam bentuk saldo rekening giro yang ditempatkan di Bank Indonesia (BI). “Itu sudah dilakukan BI, saya kira itu yang lebih berdampak di semester dua,” kata dia.
Penurunan GWM ini dilakukan BI pada 1 Juli 2019, lewat Peraturan Anggota Dewan Gubernur Nomor 21/14/PADG/2019 tentang Giro Wajib Minimum Dalam Rupiah dan Valuta Asing Bagi Bank Umum Konvensional (BUK), Bank Umum Syariah (BUS), dan Unit Usaha Syariah (UUS).
Untuk BUKU, GWM turun dari 6,5 persen menjadi 6 persen: 3 persen untuk GWM harian dan 3 persen GWM rata-rata tetap. Untuk BUS dan UUS, GWM turun dari 5 persen menjadi 4,5 persen: 1,5 persen untuk GWM harian dan 3 persen GWM rata-rata tetap.
Selain Piter, Mantan Menteri Keuangan Chatib Basri menyebutkan sedikitnya ada dua syarat utama untuk mendorong iklim investasi lebih bergairah. Dua syarat itu adalah penurunan suku bunga dan kemudahan perizinan usaha dan pembiayaan.
"Kalau bunganya turun, tapi dia untuk dapat izinnya susah ya ga bisa invest juga," kata Chatib saat ditemui dalam diskusi Center for Strategic and International Studies (CSIS) di Jakarta, Selasa, 23 Juli 2019.
Selain kemudahan izin berusaha, persoalan pembiayaan juga dinilai sangat penting. "Kalau anda jalanin proyeknya gampang, tapi biayanya masih mahal, kan anda ga bisa invest juga, jadi kombinasi dari dua hal itu mesti jalan," kata Komisaris Utama PT Kliring Penjaminan Efek Indonesia (KPEI) ini.
Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Luhut Binsar Panjaitan memastikan pemerintah berkomitmen untuk mempercepat proses perizinan investasi sehingga investor tidak terlalu sudah mengurus-ngurus. Jika memang ditemui kendala perizinan investasi di suatu daerah, kata Luhut, pemerintah pusat akan langsung turun dan memanggil pemerintah daerah setempat. “Kami mau sapu semua itu biar cepat,” kata dia saat ditemui di kantornya di Jakarta Pusat.