TEMPO.CO, Jakarta - Kementerian Perdagangan menyatakan bahwa bea masuk untuk produk biodiesel asal Indonesia masih bisa berubah. Perubahan masih bisa dilakukan sejalan dengan kebijakan yang masih bersifat sementara atau provinsial sejalan dengan penyelidikan yang masih berlangsung.
Direktur Pengamanan Perdagangan Pradnyawati mengatakan penyelidikan yang dimaksud adalah mengenai tuduhan Komisi Eropa terhadap Pemerintah Indonesia dan sejumlah perusahaan yang memproduksi biodiesel. "Penyelidikan ini belum tuntas, masih dua per tiga jalan, karena biasanya baru 1-1,5 tahun selesai," kata Pradnyawati di Gedung Kementerian Perdagangan, Jakarta, Jumat 26 Juli 2019.
Sebelumnya, produk biodiesel asal Indonesia dikenai bea masuk sebesar 8—18 persen oleh Uni Eropa atau UE. Kebijakan itu berlaku sementara per 6 September 2019, dan ditetapkan secara definitif per 4 Januari 2020 dengan masa berlaku selama 5 tahun.
Biodiesel Indonesia dikenai bea masuk karena UE menuding Indonesia menerapkan praktik subsidi untuk produk bahan bakar nabati berbasis minyak kelapa sawit (crude palm oil/CPO) itu. Pengenaan tarif impor ini merupakan buntut dari sengketa biodiesel antara Indonesia dan UE selama 7 tahun terakhir.
Adapun, bea masuk tersebut akan diberlakukan untuk biodiesel produksi Ciliandra Perkasa sebesar 8 persen, Wilmar Group 15,7 persen, Musim Mas Group 16,3 persen, dan Permata Group sebesar 18 persen.
Pradnyawati mengatakan pemerintah dan perusahaan asal Indonesia hingga hari ini masih belum menerima final determination atau keputusan final terkait kebijakan tersebut. Karena itu, pemerintah Indonesia masih memiliki waktu untuk menanggapi, merespon dan menyanggah tuduhan Komisi Eropa tersebut.
Menurut Pradnyawati, kebijakan bea masuk atas biodiesel Indonesia baru akan diberlakukan pada 6 September 2019. Selama masa itu, bahkan hingga Januari 2020, Pemerintah Indonesia dan juga pengusaha masih bisa mengajukan bukti tandingan dan bantahan atas tudingan Komisi Eropa.
"Kami masih bisa terus mengajukan penolakan dan bantahan dari bukti baru terhadap tudingan itu. Bahkan, jika sampai Januari 2020 keputusan final sudah keluar kita pun masih bisa menggugat keputusan itu di World Trade Organization," kata Pradnyawati.
Pradnyawati menuturkan, sebelumnya sengketa mirip melawan Uni Eropa juga pernah terjadi pada tahun 2013 dan 2017. Saat itu, atas keputusan UE, Indonesia mengajukan gugatan ke WTO mengenai tuduhan terkait subsidi dan antidumping terkait CPO. Dalam keputusan WTO, Indonesia berhasil menang lantaran hasil penyelidikan UE dinilai ada kesalahan perhitungan.