TEMPO.CO, Jakarta - Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Luhut Binsar Pandjaitan menyarankan Presiden Joko Widodo atau Jokowi untuk mengurangi secara bertahap impor garam. Pasalnya, ia memperhitungkan Indonesia segera bisa memproduksi garam industri sendiri dalam dua tahun ke depan.
Optimisme Luhut didukung rampungnya persoalan lahan tambak garam seluas 3.720 hektare di Kupang, Nusa Tenggara Timur. "Itu produksi garam kita bisa bertambah 800-an ribu ton pada 2021. Jadi sebenarnya kita ndak usah lagi impor-impor," ujar dia dilansir siaran pers di laman Sekretariat Kabinet, setkab.go.id, Selasa, 23 Juli 2019.
Luhut pun mengomentari ihwal kebutuhan garam industri dari produsen makanan dan minuman. Ia mengaku memahami adanya kebutuhan tersebut. Namun, ia juga yakin bahwa para pelaku industri sudah memiliki stok garam dalam jumlah yang cukup saat ini. “Ya kalau sudah ada ngapain impor-impor. Sekarang yang bikin current deficitkita itu kan anu, terlalu banyak impor, kita enggak produksi,” tutur Luhut.
Sebelumnya, Lahan 3.720 hektare milik PT Panggung Guna Ganda Semesta di Kupang sempat bermasalah soal status dan tak kunjung aktif berproduksi. Padahal pemerintah tengah menggenjot pencapaian swasembada garam seluas 10.000 hektare di Indonesia. Salah satunya, dengan perluasan lahan garam, termasuk di NTT.
Pekan lalu, Menteri Agraria dan Tata Ruang Sofyan Djalil mengatakan bahwa hak guna usaha di lahan seluas 3.720 hektare itu dibatalkan. Dari jumlah tersebut, sebanyak 40 persen akan dibagikan kepada rakyat melalui program TORA alias tanah objek reforma agraria. Sementara, 60 persen sisanya akan dipergunakan untuk kepentingan industri garam.
"Nanti diharapkan yang rakyat juga akan ikut ke dalam industri di masa depan tapi paling tidak rakyat akan punya hak milik atas tanah kemudian sisanya untuk industri," ujar Sofyan Djalil. "Jadi sekarang tanah sudah bebas tinggal bagaimana menarik industri."
Di samping itu, Sofyan juga membahas lahan di Nagakeo, NTT. Di sana, kata dia, masih ada persoalan lahan yang tengah diselesaikan, yakni soal sewa tanah antara pemegang hak pengelolaan dengan investor.
"Kami putuskan tadi kalau tidak diselesaikan HPL-nya kita cabut kami langsung berikan kepada investor supaya jangan sampai HPL itu mengganggu investasi," ujar Sofyan. Adapun luas lahan di Nagakeo yang tengah diselesaikan mulanya adalah sekitar 700 hektare. Dari luas tersebut, sebagiannya diberikan kepada rakyat dan sebagiannya diberikan berupa HPL kepada Pemerintah Daerah.
Kemudian, Pemda bisa mengerjasamakannya dengan pihak swasta. "Ternyata kemudian jadi hambatan setelah diberikan ke Pemda, padahal itu diberikan untuk menghargai pemerintah daerah tapi ternyata jadi masalah," kata dia.
Karena itu, ia meminta Gubernur NTT menyelesaikan perkara itu. "Kalau tidak selesai tempo satu bulan ini HPL-nya kita cabut kita serahkan langsung, karena hak itu memang dari pemerintah, tanah negara," kata Luhut.
BISNIS