TEMPO.CO, Jakarta - Himpunan Peternak Unggas Lokal Indonesia (Himpuli) meminta pemerintah untuk tidak membuka kembali keran impor daging bebek dari Malaysia. Hal ini menyusul adanya pengakuan bahwa produk unggas di negara tersebut telah terbebas dari avian influenza (AI) atau flu burung.
Menurut Ketua Himpuli Ade M Zulkarnain, jika keran impor kembali dibuka, dikhawatirkan akan memukul peternakan bebek, khususnya peternak tradisional di dalam negeri. “Himpuli mendesak Kementerian Pertanian untuk tidak memberi persetujuan impor daging bebek Malaysia,” katanya, Ahad, 21 Juli 2019.
Ade menjelaskan saat ini, sudah ada importir asal kota Medan yang mengajukan permohonan impor daging bebek asal Perak, Malaysia. Untuk itu, dia meminta agar Kementerian Pertanian selaku pihak yang berhak memberi rekomendasi untuk izin impor tidak menyetujui permintaan tersebut.
sejak ditutupnya keran impor daging bebek dari Malaysia pada kuartal pertama 2017 lalu, kata Ade, peternakan bebek dalam negeri tampak mulai bergairah yang ditunjukkan dengan perbaikan produksi. Adapun ditutupnya keran impor ini lantaran virus flu burung yang merebak di negara tersebut.
Dia mengungkapkan pada tahun lalu, produksi daging bebek dalam negeri mencapai 56 ribu ton. Angka ini naik dari rata-rata produksi pada tahun-tahun sebelumnya yang tercatat hanya sebanyak 45 ribu ton per tahun.
Namun, belakangan serapan pasar untuk daging unggas ini berkurang. Ade tidak merinci penyebab berkurangnya serapan pasar ini, tetapi pihaknya mencatat konsumsi selama 2018 hanya mencapai 52 ribu ton.
Selain itu, tekanan pun akan muncul dari sisi harga. Pasalnya, saat ini, harga bebek produksi dalam negeri tercatat mencapai Rp 35 ribu per kilogram (kg) dengan biaya produksi mencapai Rp 30 ribu per kg, sementara harga bebek impor asal Malaysia ditengarai hanya sekitar Rp 30 ribu per kg. “Karena ini pasarnya terbatas, harusnya jadi porsi peternak lokal,” ucapnya.
BISNIS