TEMPO.CO, Jakarta - Peneliti Bidang Makroekonomi dan Keuangan Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Abdul Manap Pulungan memperkirakan defisit transaksi berjalan tahun ini bakal stagnan dan sulit turun.
Hal tersebut terjadi jika ketergantungan atas harga minyak mentah dan komoditas masih tinggi. "Saya pikir masih akan defisit tapi mungkin tidak akan setinggi tahun kemarin," kata Abdul, Selasa, 16 Juli 2019.
Terlebih, menurut Abdul, jika defisit neraca perdagangan tak dibantu sektor jasa. Penurunan harga minyak mentah pun tak bisa membantu banyak jika volume kebutuhan impor migas juga tetap tinggi.
Abdul juga menilai perlunya diversifikasi sehingga sisi ekspor produk tak terlalu bergantung pada komoditas dan tidak ada upaya meningkatkan nilai tambah. "Seperti data dari BPS ekspor kita dominan masih CPO dan batu bara. Masih 12 persen dan 10 persen," ucap Abdul.
Alhasil kinerja ekspor turun hanya karena India menurunkan permintaan batu bara ke Indonesia. Kerentanan ini yang harus diwaspadai.
Ke depannya, menurut Abdul, untuk neraca transaksi berjalan ada tiga unsur penting yang wajib diperhatikan oleh regulator. Ketiga poin itu adalah neraca barang, neraca jasa, dan neraca pendapatan.
Agar terhindar dari defisit, kata Abdul, harus dipacu surplus neraca perdagangan. "Kedua kita harus menekan defisit neraca jasa lewat pariwisata semaksimal mungkin agar bisa menurunkan defisit neraca jasa," ucapnya.
Surplus tipis neraca dagang Juni 2019 sebesar US$ 196 juta menandakan defisit transaksi berjalan tahun ini akan sulit diturunkan.
BISNIS