TEMPO.CO, Mataram - Selama triwulan I - 2019, pasca gempa Lombok pada tahun lalu, pertumbuhan lapangan usaha pertanian di Nusa Tenggara Barat (NTB) anjlok. Jika sebelum gempa pertumbuhan sektor pertanian mampu mencapai 5 persen, kini tinggal 0,07 persen.
Kantor Perwakilan Bank Indonesia (KPw BI) NTB mendorong Pemerintah Provinsi NTB mewujudkan hilirisasi industri pertanian untuk meningkatkan nilai tambahnya. Apalagi, sebenarnya sektor pertanian di NTB cukup dominan dengan kontribusi pada produk domestik regional brutto (PDRB) sebesar 23,41 persen.
Adapun sektor perdagangan tumbuh 5,89 persen, dan konstruksi 8,14 persen. Sedangkan sektor pertambangan tumbuh minus 0,65 persen dan transportasi juga minus 2,71 persen.
Kepala KPw BI NTB Achris Sarwani menjelaskan kondisi terakhir perekonomian NTB setelah hampir setahun terjadinya bencana gempa pada Diseminasi Laporan Perekonomian Provinsi Nusa Tenggara Barat Semester I - 2019, Senin 15 Juli 2019 sore. Ia mengatakan perlu adanya industri pengolahan sehingga ada nilai tambah dari produksinya. ''Agar bisa memberikan sumbangan kepada pertumbuhan ekonomi yang lebih baik di NTB,'' katanya.
Sekretaris Daerah NTB Iswandi mengatakan mengikhtiarkan adanya kebersamaan antar kota dan kabupaten mewujudkan industrialisasi untuk meningkatkan nilai tambahnya. ''Agar bisa menjadi skala usaha yang besar membuka lapangan kerja,'' ujarnya di Mataram, Senin 15 Juli 2019.
Secara terpisah, Kepala Bidang Statistik Sosial Badan Pusat Statistik Provinsi NTB Arrief Chandra Setiawan mengemukakan peranan komoditas makanan terhadap garis kemiskinan jauh lebih besar dibandingkan peranan komoditas bukan makanan (perumahan, sandang, pendidikan, dan kesehatan). ''Ini terjadi baik di perkotaan maupun perdesaan,'' ucapnya.
Pada Maret 2019, sumbangan Garis Kemiskinan Makanan terhadap Garis Kemiskinan sebesar 74,17 persen untuk perkotaan dan 74,91 persen untuk perdesaan.
Pada periode yang sama, jumlah penduduk miskin di daerah perkotaan tercatat sebesar 384,65 ribu orang atau 15,74 persen, sedangkan penduduk miskin di daerah perdesaan sebesar 351,31 ribu orang atau 13,45 persen.
Adapun periode September 2018 - Maret 2019, Indeks Kedalaman Kemiskinan (P1) di Nusa Tenggara Barat mengalami penurunan dari dari 2,380 pada September 2018 menjadi 2,327 pada Maret 2019. Ini mengindikasikan bahwa pasca gempa Lombok, rata-rata pengeluaran penduduk miskin di NTB cenderung mendekati Garis Kemiskinan.
SUPRIYANTHO KHAFID