TEMPO.CO, Jakarta - Direktur Jenderal Kekayaan Negara Kementerian Keuangan, Isa Rachmatarwata, menyebut utang senilai Rp 773,38 miliar dari Lapindo Brantas Inc. dan PT Minarak Lapindo Jaya merupakan jenis piutang yang bersifat kasualistik. Utang ini tidak secara awal ada di Kementerian Keuangan, tapi muncul karena ada bencana lumpur di Porong, Sidoarjo, Jawa Timur.
“Jadi belum ada sebenarnya aturan yang mengatur rinci,” kata Isa dalam konferensi pers di Kantor Kementerian Keuangan, Jakarta Pusat, Jumat ,12 Juli 2019. Akan tetapi, kedua perusahaan tetap harus membayarkan utang tersebut yang dulunya digunakan untuk melunasi pembelian tanah dan bangunan warga terdampak luapan lumpur Sidoarjo.
Pembayaran utang sebenarnya telah jatuh tempo pada 10 Juli 2019. Namun baru Rp 5 miliar utang yang telah dibayarkan oleh perusahaan anggota grup PT Bakrie & Brothers Tbk (BNBR) ini. Isa mengingatkan bahwa semakin berlarut pembayaran utang, maka nilai bunga utang akan terus bertambah. Ditambah, adanya denda keterlambatan pembayaran utang.
Kedua perusahaan sebenarnya telah mengupayakan jaminan pembayaran utang ini lewat pengalihan aset perusahaan yang ada di Sidoarjo. Pertama yaitu perusahaan mengupayakan sertifikasi tanah di area terdampak.
Namun saat ini, baru sekitar 44 hektare saja yang sudah rampung. Kesulitan melakukan sertifikasi muncul karena banyak tanah yang masih tertutup lumpur.
Selain itu, kedua perusahaan juga melakukan sertifikasi pada lahan seluas 45 hektare yang sebelumnya merupakan Perumnas Tanggulangin Sejahtera. Saat ini, sertifikat dari sejumlah aset yang telah jelas kedudukan hukumnya, telah diserahkan kepada PPLS atau Pusat Pengendalian Lumpur Sidoarjo, yang berada di bawah Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat.
Jika semua aset telah selesai diukur dan disertifikasi oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN) Jawa Timur, Kementerian Keuangan akan kembali melakukan penilaian. Isa menyebut pihaknya juga memiliki tim penilai yang akan memvalidasi aset dari kedua perusahaan, apakah memenuhi nilai piutang atau tidak. “Kalau tidak cukup, kami minta yang lain, ini baru sebagian saja yang sudah,” kata dia.
Di tengah proses ini, kedua perusahaan sebenarnya balik menuntut utang dari pemerintah terhadap mereka sebesar Rp 1,9 triliun. Utang ini berasal dari cost recovery atau biaya yang dapat diganti pemerintah dari proyek mereka di Sidoarjo.
Namun, Kemenkeu masih mengatakan urusan cost recovery Lapindo ini urusannya dengan Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas atau SKK Migas, bukan dengan Kementerian Keuangan.