TEMPO.CO, Jakarta - Deputi Bidang Koordinasi Sumber Daya Alam dan Jasa, Kemenko Bidang Kemaritiman Agung Kuswandono mengusulkan agar garam kembali dimasukkan ke dalam kategori barang kebutuhan pokok atau barang penting. Hal ini berkaitan dengan harga garam yang belakangan anjlok.
"Garam dikeluarkan dari Perpres 71 Tahun 2015 tentang Penetapan dan Penyimpanan Barang Kebutuhan Pokok dan barang Penting, sehingga harga pokok produksinya tidak bisa dijaga pemerintah," ujar Agung di Kantor Kemenko Maritim, Jakarta, Jumat, 12 Juli 2019.
Alasan dikeluarkannya garam, ujar Agung, antara lain lantaran konsumsinya dinilai sedikit, yaitu 3,5 kilogram per tahun per kapita dan dinilai tak mempengaruhi inflasi. Adapun Kementerian yang bertanggungjawab atas revisi itu adalah Kementerian Kelautan dan Perikanan dan Kementerian Perdagangan, melalui pertimbangan Kementerian Perindustrian dan Badan Pusat Statistik, serta lembaga lainnya.
Menurut Agung, garam sangat dibutuhkan oleh masyarakat. Selain untuk konsumsi, garam juga digunakan untuk bahan baku 400 jenis industri. "Mungkin ini tidak dipikirkan bahwa kalau tidak ada garam, maka industri kolaps," ujar dia.
Di samping itu, dari segi sosial, ada banyak petani garam yang menggantungkan hidup pada komoditas tersebut. Bila usulan itu diterima, ia akan mengajukan harga minimal sebesar Rp 1.000 per kilogram.
Sebelumnya, petani garam yang berada di Kabupaten Cirebon, Jawa Barat, mengaku sangat merugi pada musim panen kali ini, karena hasil produksi mereka hanya dihargai Rp 300 per kilogram. Petani merugi karena harga garam milik mereka terus anjlok, bahkan saat ini yang baru masuk musim panen harganya Rp 300 per kilogram.
Fenomena jebloknya harga garam juga terjadi di Indramayu. Sebanyak 8.600 ton garam hingga kini masih tersimpan di sejumlah gudang di Kabupaten Indramayu. Padahal tahun sebelumnya, tidak ada petambak yang memiliki stok garam di gudang seperti saat ini.
Kepala Bidang Perikanan Budidaya Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Indramayu, Edi Umaedi, menjelaskan ribuan ton garam itu belum terjual di Kabupaten Indramayu. “Garam tersebut tersimpan di sejumlah gudang milik petambak garam,” katanya.
Selain soal HPP yang tidak diatur, kualitas diduga menjadi penyebab rendahnya harga garam di tingkat petambak pada musim panen kali ini. "Yang masalah bukan di K1, jadi harga turun itu karena kualitas K2 dan K3," ujar dia. Adapun garam kualitas K2, yaitu yang kandungan NaClnya 90-95 persen dan kualitas 3, yang kandungannya di bawah 90 persen.
Menurut Agung, garam berkualitas K2 dan K3 memang relatif sulit diserap oleh industri. Pasalnya industri membutuhkan garam dengan kualitas K1, yang kandungan NaCl-nya berkisar 95-98 persen . "Yang sekarang teriak harga garam anjlok itu di Cirebon, ternyata garam K2 - K3. Industri bisa menyerap, cuma harganya pasti rendah karena rendemen kecil, jadi tidak bisa dipaksakan tinggi."
RMN IVANSYAH