Aspek pertama berkaitan dengan legalitas pertanahan. Soelaeman memastikan, pihak swasta tidak ingin mendapatkan tanah secara gratis begitu saja. Namun, swasta siap membeli tanah itu dari pemerintah asalkan ada mekanisme konsesi lahan yang jelas, baik soal kepemilikan, nilai, hingga jangka waktunya.
Baca: Ibu Kota Pindah, Lembaga Keuangan Tetap di Jakarta
Singkatnya, pemerintah bisa menyediakan tanah yang ingin dibangun oleh oleh pihak swasta. Lalu, swasta yang terlibat akan membeli tanah itu dari pemerintah dengan harga yang wajar. Pemerintah harus memastikan harga tanah ini jauh dari spekulan tanah yang membuat harga tanah naik dengan tidak terkontrol.
Tak hanya itu, swasta juga ingin proses pembelian hingga pengembangan tanah konsesi ini nantinya dilakukan tanpa melanggar hukum. Soelaeman mengakui pihak swasta atau pengembang akan malas untuk terlibat jika kesepakatan saat ini menimbulkan akibat hukum yang tidak diinginkan di kemudian hari. Swasta ingin jaminan tersebut. “Jangan nanti kemudian hari dibilang, aset negara hilang, males kita,” ujarnya. Itu sebabnya, Soelaeman ingin pemerintah memberikan dasar hukum yang kuat dan tidak berubah-ubah.
Pada aspek kedua yaitu Development Agreement, Soelaeman ingin pemerintah memberikan informasi yang jelas ketika lokasi sudah ditetapkan dan tanah siap untuk dibangun. Pertama, harus ada kejelasan fase pembangunan dan pembagian pengembangan antar investor. Pemerintah juga harus memastikan pembangunan itu berjalan sesuai jadwal yang ditentukan. “Jangan nanti ada yang sudah dapat konsesi, tapi gak jadibangun-bangun,” kata dia.
Selain itu, pihak swasta juga memerlukan adanya kejelasan soal mekanisme investasi yang boleh dilakukan untuk mendapatkan pendanaan. Beberapa instrumen tersebut mulai pendanaan perbankan, Initial Public Offering (IPO), hingga penerbitan obligasi. “Harus ada dalam skema investasi, pengembang boleh IPO, boleh lakukan ini itu, harus jelas,” kata dia.
Baca: Jokowi Diminta Tak Hanya Pindahkan Ibu Kota, Tapi...
Barulah terakhir soal captive market, dalam hal ini kejelasan soal masyarakat yang menempati ibu kota baru nanti. Misalkan jumlah Aparatur Sipil Negara (ASN) yang akan pindah sebanyak 400 ribu orang, maka harus ada fasilitas perumahan, hotel, hingga lokasi komersial untuk mendampinginya. Selain itu, Soelaeman memperkirakan akan ada tambahan 30 persen dari jumlah tersebut, sekitar 120 ribu yang harus tinggal di sana untuk menjalankan fasilitas pendukung ini. “Jadi berapa orang yang ada di sana jelas,” kata dia.
Namun khusus untuk penduduk di ibu kota baru ini, Bappenas telah memberikan estimasi jumlah hingga 10 tahun ke depan. Sebanyak 195.550 orang merupakan ASN di bidang lembaga eksekutif, yudikatif, dan legislatif. Lalu 25.660 orang TNI/Polri, 884.840 orang anggota keluarga dari lembaga-lembaga ini, dan 393.950 orang adalah estimasi jumlah penduduk yang beraktivitas di sektor ekonomi pendukung. Sehingga, totalnya menjadi 1,5 juta orang.
Dengan kepastian-kepastian tersebut, Soelaeman juga berharap akan ada beberapa hasil yang bisa dicapai. Di antaranya yaitu terciptanya lapangan kerja di ibu kota baru, terciptanya lingkungan ibu kota negara yang dikelola dengan baik, hingga menciptakan lokasi pertumbuhan baru di Indonesia. “Semangatnya harus demikian, sebagai pionir sentra pengembangan ekonomi, tak hanya di luar Jawa, tapi juga di seluruh tanah air,” kata dia.
Kepala Bagian Humas Kementerian Agraria dan Tata Ruang, Horison Mocodompis, mengatakan lokasi ibu kota baru nantinya diharapkan lebih banyak menggunakan tanah milik negara. Artinya, tanah tersebut belum dikuasai satu pihak manapun. Kalaupun ada tanah milik masyarakat yang harus digunakan, barulah pembebasan lahan dilakukan. Kalimantan menjadi kandidat kuat ibu kota baru karena potensi tanah milik negara di sana masih sangat besar. “Tapi memang belum ditentukan lokasi pastinya,” kata Horison.
Baca: Jokowi Ingin Pindahkan Ibu Kota, Bagaimana Nasib Jakarta?
Namun, Ia mengatakan pembahasan saat ini belum sampai sejauh kesepakatan konsesi lahan dengan pengembang. Tapi Ia memastikan, pemerintah tidak pernah tercatat menjual tanah yang dimiliki. Praktik selama ini, tanah dikuasai oleh pemerintah daerah menggunakan Hak Pengelolaan Lahan (HPL). Nantinya, pihak swasta bisa masuk mengelola lahan ini menggunakan skema Hak Guna Bangunan (HGB) dengan jangka waktu 30 tahun, dan dapat diperpanjang hingga batas waktu 20 tahun.