TEMPO.CO, Jakarta - Pemerintah dinilai perlu mewaspadai potensi kenaikan harga beras dan cabai pada semester II 2019 ini. Seperti diketahui, harga cabai merupakan salah satu faktor penyumbang inflasi yang terbesar.
Baca juga: Inflasi Juni 0,55 Persen, BPS: Dipicu Harga Emas dan Cabai
Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Rusli Abdullah mengatakan harga cabai perlu diantisipasi lonjakannya. Sebab, komoditas tersebut mudah mengalami pembusukan saat proses distribusi dari wilayah produksi ke wilayah tujuan.
Padahal, sesungguhnya produksi cabai sangat melimpah saat musim kemarau. Namun, karena pusat produksi cabai hanya terpusat di beberapa titik tertentu, sementara permintaannya cenderung tersebar di berbagai wilayah maka rentan pembusukan. "Produksinya dimana dan kebutuhannya dimana, sehingga kalau jarak distribusinya jauh maka kebusukannya juga tinggi," ujar Rusli kepada Bisnis, Rabu 10 Juli 2019.
Terkait harga beras, Rusli mengatakan Perum Bulog tetap perlu mengantisipasi kekeringan yang kemungkinan terjadi di beberapa daerah. Bahkan ia menilai Bulog perlu berkoordinasi dengan BMKG untuk mengantisipasi kekeringan dan memutuskan apakah perlu impor atau tidak.
Meski harga cabai dan beras berpotensi melonjak, Rusli memprediksi angka inflasi 2019 tidak akan menyentuh batas 3,5 persen. Sebab, bulan Ramadan sudah terlewati sehingga tidak akan ada lonjakan permintaan yang signifikan hingga akhir tahun.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), tingkat inflasi kelompok bahan pangan per Juni 2019 mencapai 4,97 persen year-to-date (ytd). Sedangkan tingkat inflasi secara umum berada di angka 2,05 pedsen (ytd).
BACA: Harga Anjlok, Peternak Obral Ayam di Pinggir Jalan
Pada Juni 2019, komoditas bahan pangan yang memiliki andil terbesar terhadap inflasi adalah cabai merah dengan sumbangsih mencapai 0,2 persen. Sebelumnya, rapat Tim Pengendali Inflasi Pusat (TPIP) pada Rabu kemarin memutuskan bahwa musim kemarau perlu diantisipasi.
BISNIS