TEMPO.CO, Jakarta - Merek sepeda Brompton punya strategi pemasaran yang unik. Di tangan CEO Brompton Will Butler Adams penjualan sepeda lipat itu naik 12 kali lipat itu dari 2 juta poundsterling menjadi 25 juta poundsterling. Perusahaan kecil di London, Inggris, ini bisa membuat positinioning yang kuat di kalangan penggemar sepeda meski tanpa bujet marketing gila-gilaan. Merek sepeda Brompton pun lebih kuat dibanding para rivalnya sepeda-sepeda lipat mahal seperti Bike Friday dari Amerika, Tyrell dari Jepang (keduanya dijual di kisaran Rp 30-60 juta), Alex Moulton (Rp 35 juta-Rp 340 juta) dari London.
Brompton, nyaris tanpa iklan, tapi seperti di Indonesia, brand sepeda premium dengan harga Rp 30 juta sampai Rp 80 juta ini kuat menancap di benak konsumen. Dalam tiga tahun ini sekitar 5.000 unit sepeda Brompton yang dibuat secara handmade di London itu laris manis di pasar Indonesia Kegiatan-kegiatan yang berembel-embel Brompton, seperti Maret lalu “Bromptoner Tempo Antihoax” selalu ramai diikuti peserta kelas atas. Lebih dari 650 orang ikut dalam kegiatan itu.
“Kami perusahaan kecil, kami tidak di-back up oleh venture capital raksasa,” kata CEO Brompton William David Buttler Adams membuka percakapan dalam wawancara eksklusif dengan Tempo.co 30 Juni 2019 di BSD, Tangerang Selatan.
Tapi di situlah keunikan kampanye marketing Brompton. Will Butler-Adams, master di bidang mekanik dari Newcastle University, Inggris, adalah salah satu orang penting di Brompton. Dia memanfaatkan komunitas untuk melejitkan brand Brompton. Sulit menemui seorang CEO brand ternama yang seperti Will.
Saat saya bertemu Will, terlihat orangnya sangat ramah dan penampilannya sangat mencolok atau extrovert ala anak Brompton. Dia mengenakan celana pendek katun warna biru muda, kemeja lengan panjang motif bunga-bunga kecil dan—ini yang terpenting—kaos kaki pink di atas sepatu Converse warna hitam. Keesokan harinya saat dia bersepeda mengelilingi Monumen Nasional dia menggunakan celana pendek pink!
Dia menyalami para pengguna Brompton yang datang padanya, dengan tanpa berjarak berswa foto secara bergiliran dengan ratusan orang. Bahkan menandatangani sepeda Brompton. Dia mirip rockstar tapi lebih ramah. Antrian tanda tangannya mengular panjang, lebih dari 60 orang. Saya pun termasuk rela berpanas-panas demi mendapatkan tanda tangan emas di sepeda saya.
Baca juga: Gowes Sepeda 20 Kilometer Bersama CEO Brompton
Acara bersepeda bersama Will Butler yang mestinya selesai pukul 10.00 pagi molor hingga pukul 13.00. “Kok mau sih Will berpanas-panas meladeni swafoto atau menandatangani sepeda. Biasanya CEO lain hanya menyediakan waktu swafoto sekadarnya?” saya bertanya. “Ini adalah bagian dari pekerjaan saya sebagai CEO.”
Community marketing, itulah salah satu kekuatan Brompton. Brand ini viral, menyebar lewat word of mouth di kalangan pesepeda. Bila Anda datang ke toko sepeda yang menjual Brompton seperti Spinwarrior di Kemang dan BSD atau One Bike Shop STC Senayan, mungkin Anda bingung mengapa sepeda berharga mahal itu laris seperti kacang goreng. Ada orang Indonesia yang sampai punya 38 Brompton seri langka CHPT 3. Dia memiliki koleksi terbanyak untuk kategori sepeda dengan harga Rp 50 jutaan itu, sehingga Davide Miller, desain CHPT 3 sekaligus pembalap tour de Franc rela datang ke Indonesia bertemu lelaki itu.
“Daripada kami menghabiskan dana 250 ribu poundsterling untuk bujet iklan, kami lebih suka menghabiskan untuk riset membuat sepeda yang lebih baik, lebih ringan,” ujar Will. Memang, bila orang sudah pernah menjajal sepeda lipat Brompton, merasakan nikmatnya, maka mereka akan melihat perbedaan kualitas dengan sepeda lipat merek lainnya. Sepeda Brompton adalah sepeda dengan pateng lipat tiga, sehingga sepeda ini terlihat ringkas, enak dibawa masuk kereta atau mobil. Belakangan teknologi lipat ini ditiru oleh pabrikan dari Indonesia maupun Taiwan.
"Brompton tak akan mati karena adanya produk tiruan. Seperti halnya Louis Vuitton tak mati karena adanya tas bajakan. Kami akan mati bila, kami tidak bisa memberikan layanan dan produk yang lebih baik," kata Will.
Will membuat orang yang membeli Brompton itu seperti bergabung dengan sebuah klub eksklusif. Karena itu Will lebih fokus menggarap marketing lewat komunitas, seperti membuat acara bersepeda bersama tapi baju peserta harus unik. Seperti yang terjadi pada 30 Juni lalu di BSD, ada yang memakai baju seragam abu-putih anak SMA, ada yang memakai baju pelayan warteg dengan dasi kupu-kupu, ada yang mirip aktor pantomim dll.
Will sebenarnya tak sengaja bertemu dengan pendiri Brompton, Andrew Ritcie. Owner brompton itu orang yang obsesif, 35 tahun tergila-gila dengan sepeda lipat yang asyik. Will bertemu dengan Andrew di bus kota. Mereka berkenalan, Will memperkenalkan diri sebagai orang yang kerja di perusahaan cat Dupont lalu bercerita tentang bisnisnya.
Andrew Ritchie pun berseru dengan gembira,”Anda adalah orang yang saya cari-cari untuk membesarkan Brompton.” Selama ini Andrew sebagai owner dan CEO membesarkan Brompton dengan cara konvensional. Semua ditangani sendiri, termasuk seluruh cek pengeluaran untuk hal kecil-kecil.
Kata Will Butler, “Perusahaan Anda tak akan bisa besar bila Anda tak bisa mendelegasikan wewenang. Berapa banyak waktu yang anda punya?”
Sementara Will Butler telah menjalankan perusahaan dengan hanya 40 orang tapi bisa menghasilkan omset US$ 4,5 juta (Rp 63,8 miliar). Itu 12 tahun saat dia bertemu Andrew. Semua dijalankan dengan mesin otomatis. Itu yang membuat Andrew kepincut dengan Will.
Sejak itulah Will Butler diminta mengelola Brompton. Pengalamannya di Dupont diterapkan di Brompton. Meski tetap handmade, tapi Will menerapkan best practice di industri otomotif ke industri sepeda. Berbeda dengan pabrikan sepeda lainnya seperti Dahon, Fnhon dan lain-lain, Brompton tak cuma membuat frame atau kerangka sepeda. Mereka memproduksi hampir 90 persen komponen sepedanya, seperti sadel, pedal dan lain-lain..
“15 persen pendapatan itu dari sepeda, 45 persen dari penjualan aksesoris. Persis seperti yang dilakukan Mercedes,” kata Will. Brompton melakukan strategi ini sehingga mereka sukses.(*)