TEMPO.CO, Jakarta - Menteri Ketenagakerjaan Muhammad Hanif Dhakiri mempertanyakan penolakan koalisi buruh terhadap rencana Revisi Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 soal Ketenagakerjaan. Hngga kini, proses revisi belum lagi berjalan dan substansi revisi juga belum ada.
Baca: Pengusaha Minta Jokowi Revisi UU Ketenagakerjaan, Ini Sebabnya
"Menurut saya, janganlah dikit-dikit tolak, dikit-dikit tolak. Gerakan buruh harus lebih maju dari sekadar tolak - menolak. Karena, tantangan ketenagakerjaan makin kompleks dewasa ini," kata Hanif dalam pesan singkat kepada Tempo, Rabu, 10 Juli 2019.
Apalagi, ujar Hanif, saat ini pemerintah masih mencari masukan dari para pemangku kepentingan soal substansi revisi. Karena itu, ia tak ingin penolakan itu terjadi karena informasi yang tidak benar dan hoaks. Ia lantas mendorong mereka memberi masukan kepada pemerintah.
Belakangan, Hanif mengatakan perubahan industri dan proses bisnis sebagai akibat dari perkembangan teknologi informasi yang cepat dan masif, sangat berpengaruh terhadap karakter pekerjaan dan hubungan kerja di masa mendatang. Apalagi tuntutan keahlian juga berubah lantaran karakter pekerjaan berubah.
"Ini kan perlu diantisipasi oleh semua pihak, termasuk serikat pekerja dan dunia usaha," kata Hanif. Karena itu, perlindungan terhadap tenaga kerja pun semakin penting. Sejurus dengan itu, Hanif berujar cara perlindungan juga berbeda, tak lagi dengan cara konvensional. Hal itu lah yang mendorong perlunya revisi beleid dilakukan.
Pernyataan Hanif itu dilontarkan untuk menanggapi Koalisi masyarakat yang tergabung dalam Gerakan Buruh Bersama Rakyat alias Gebrak yang menolak rencana pemerintah dan usulan pengusaha soal revisi Undang-undang Nomor 13 tahun 2013 tentang Ketenagakerjaan. Pasalnya, usulan itu dinilai bakal merugikan dan memiskinkan buruh.