TEMPO.CO, Jakarta - Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Fahri Hamzah sepakat perlunya ada revisi pada Undang-undang Badan Pemeriksa Keuangan. Salah satunya, soal pembentukan panitia seleksi calon anggota BPK.
BACA: Calon Anggota BPK Tak Memiliki Kompetensi Auditor, IAPI: Kami Kecewa
Kendati demikian, ia mengatakan revisi itu mungkin baru bisa dilakukan pada masa pemilihan anggota BPK berikutnya. Pasalnya, saat ini seleksi anggota lembaga audit itu sejatinya sudah berjalan. "Di masa mendatang perlu dipikirkan," ujar Fahri saat ditemui Tempo di Kompleks Parlemen, Jakarta, Selasa, 9 Juli 2019.
Salah satu poin usulan Fahri adalah agar di kemudian hari mekanismenya adalah DPR mesti membuat panitia seleksi yang terdiri dari para ahli terlebih dahulu. Barulah hasil dari tangan pansel diserahkan kepada Komisi Keuangan DPR.
"Kenapa tidak diputuskan oleh pemerintah? Karena tidak boleh ada jasa pemerintah di BPK karena BPK Calon pemeriksa pemerintah. Karena itu langsung ke DPR," tutur Fahri.
BACA: DPR Ungkap 4 Kriteria Penilaian Makalah Calon Anggota BPK
Senada dengan Fahri, anggota Komisi Keuangan DPR Hendrawan Supratikno mengatakan memang ada yang perlu disempurnakan dari UU BPK yang saat ini ada, yakni soal pembentukan pansel independen. "Agar ada konsistensi antara pemilihan komisioner kpk dengan BPK," kata dia.
Meski demikian, Hendrawan menampik tudingan bahwa saat ini seleksi tidak berjalan transparan. Sebab, sejatinya DPR adalah lembaga yang sangat transparan dan mudah diakses oleh masyarakat.
"Karena di sini ada sepuluh fraksi dengan banyak relasi. Kalau di bawah Setneg misalnya apa bisa asal cegat? Jadi sangat belum tentu lebih transparan," ujar Hendrawan.
Desakan untuk merevisi UU BPK salah satunya muncul dari Sekretaris Jenderal Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra), Misbahul Hasan. Poin penting dari revisi tersebut adalah terkait penambahan pasal pembentukan panitia seleksi independen, untuk memilih anggota BPK.
Dengan demikian, kata Misbahul, seleksi anggota lembaga audit negara itu tidak lagi langsung ditangani Pansel Dewan Perwakilan Rakyat. "Agar anggota BPK yang terpilih betul-betul mempunyai integritas tinggi, netral, profesional dan terlepas dari konflik kepentingan," ujarnya melalui pesan singkat kepada Tempo, Kamis, 4 Juli 2019.
Desakan untuk merevisi UU BPK mencuat setelah munculnya 64 nama calon anggota BPK yang ada saat ini. Dalam daftar itu, ternyata 12 orang di antaranya tercatat masih aktif di partai politik. "Banyak yang kecolongan," kata Misbahul.
Seleksi calon anggota BPK, ujar Misbahul, memang menjadi salah satu hal yang dirisaukan Fitra. Pasalnya, ia menilai seleksi anggota lembaga audit masih relatif tertutup dan tidak banyak masyarakat yang mengetahui. Apalagi, kali ini, masyarakat juga sedang disibukkan dengan sidang perkara Pilpres 2019 di Mahkamah Konstitusi dan pendaftaran Komisioner Komisi Pemberantasan Korupsi.
Saat ini, berdasarkan UU BPK, DPR menjadi panitia tunggal pemilihan anggota. Mereka bertugas menentukan syarat pendaftaran calon hingga menyelenggarakan uji kepatutan dan kelayakan. Aturan itu pun tidak membatasi latar belakang atau profesi kandidat. Tapi, kandidat wajib memutus jabatan politik jika lolos menjadi anggota BPK.