TEMPO.CO, Bandung - Kepala Dinas Tanaman Pangan dan Holtikultura Jawa Barat Hendy Jatnika mengatakan, sudah 5 persen lahan sawah yang terkena dampak kekeringan di Jawa Barat.
Baca juga: 100 Kabupaten dan Kota Terdampak Kekeringan, Jawa Timur Terluas
“Totalnya yang terdampak kekeringan 29.913 hektare dari luas areal yang ada 596.867 hektare atau 5 persennya,” kata dia di Bandung, Senin, 9 Juli 2019.
Hendy merinci, per 7 Juli 2019 dari seluruh lahan sawah yang terkena dampak kekeringan itu di antaranya 4.214 hektare masuk kategori berat, dan yang masuk kategori puso atau gagal panen seluas 1.682 hektare. Sisanya 15.035 hektare terkena dampak ringan, dan 8.982 hektare masuk kategori sedang.
Hendy mengatakan, sebagian besar lahan yang terkena dampak kekeringan berada di lahan yang tidak terjangkau irigasi teknis. “Tapi ada juga yang berada di daerah irigasi yang terlalu banyak looses, misalnya seharusnya air bisa sampai tapi irigasi mungkin sudah retak, ditambah cuaca lebih terik sehingga penguapan lebih tinggi,” kata dia.
Seluruh sawah terkena dampak kekeringan tersebar di 22 kabupaten/kota di Jawa Barat. Indramayu tercatat merupakan daerah terluas yang terkena dampak kekeringan dengan luasan menembus 14.617 hektare, di antaranya 579 hektare masuk kategori berat dan 28 hektare sudah puso.
Indramayu tertinggi karena merupakan daerah dengan luas lahan sawah terbesar di Jawa Barat yakni menembus 87 ribu hektare. “Sebagian besar lahan sawah di Indramayu ini tadah hujan sehingga rawan terdampak kekeringan apabila tidak ada hujan,” kata Hendy.
Sementara hingga saat ini lahan sawah puso terluas terjadi di Kuningan yang mencatatkan 654 hektare lahan puso. Di Kuningan tercatat 2.041 hektare lahan terkena dampak kekeringan dengan kategori bervariasi dari ringan hingga sedang, dari luas lahan sawah seluruhnya 22.149 hektare.
Hendy mengatakan, BMKG memperkirakan kemarau masih panjang. “Periode kemarau menurut BMKG mulai dari awal April sampai Oktober baru ada hujan lagi,” kata dia.
Kendati demikian, dia optimis lahan sawah terkena dampak kekeringan tidak akan meluas lagi. “Kelihatannya tidak meluas lagi. Yang terdampak itu kalau sudah berat mungkin akan berkembang menjadi puso, tapi kemudian tanaman yang eksisting bisa bertahan adalah tanaman yang masih bisa di airi. Mudah0-mudahan secara drastis tidak akan terlalu banyak lebih meluas lagi karena sudah dua bulan kemarau ini sudah pada titik tidak akan ada lagi petani yang menanam pada saat kemarau,” kata Hendy.
Hendy mengatakan, pemerintah mengupayakan agar lahan sawah terdampak kekeringan masih bisa dibantu dengan pompanisasi. “Kita upayakan kalau masih memungkinkan dengan bantuan pompanisasi irigasi,” kata dia.
Kepala Badan Meteorologi Klimatologi Dan Geofisika (BMKG) Kelas 1 Bandung, Tony Agus Wijaya mengatakan, musim kemarau secara umum di Jawa Barat dimulai Mei dan diperkirakan berakhir pada Oktober nanti. “Kalau dalam kondisi normal sampai Oktober nanti,” kata dia di Bandung, Senin, 9 Juli 2019.
Tony mengatakan, puncak kemarau diperkirakan terjadi pada Agustus 2019. “Puncak kemarau dengan jumlah curah hujan paling sedikit di bulan Agustus. Setelah Agustus sedikit demi sedikit hujan meningkat dan berganti ke musim hujan di bulan Oktober,” kata dia.
Tony mengatakan, perkiraan musim kemarau tahun ini cenderung normal. “Tidak ada gangguan yang sifatnya jangka panjang seperti El Nino dan La Nina. El Nino membuat lebih kering, La Nina membuat lebih banyak hujan. Tahun ini gangguan tidak terlalu signifikan. Polanya normal,” kata dia.
Baca berita Kekeringan lainnya di Tempo.co