TEMPO.CO, Jakarta - Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN) mengungkapkan sistem perlindungan konsumen di Indonesia masih memiliki banyak kelemahan. Kelemahan pada sistem ini berbuntut pada banyak hak-hak konsumen atau masyarakat Indonesia yang dilanggar. “ Kasihan masyarakat kita sekarang,” kata Anggota Komisioner BPKN bidang Komunikasi dan Edukasi, Edib Muslim, dalam jumpa pers di Gedung Kementerian Perdagangan, Selasa, 2 Juli 2019.
Baca: 80 Persen Pengaduan Konsumen ke BPKN Masih Soal Perumahan
Kelemahan pertama terjadi pada kekosongan hukum dari perlindungan konsumen. Saat ini, BPKN bekerja menjalankan Undang-Undang Nomor 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Akan tetapi, Undang-Undang yang telah berumur 20 tahun ini dinilai sudah tidak mampu mengakomodir perkembangan saat ini, terutama perkembangan teknologi.
Kasus nyata, kata Edib, terjadi pada polemik transportasi online seperti Go-Jek atau Grab Indonesia. Saat ini, transportasi online ini hanya diikat oleh Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. Padahal, perusahaan aplikasi ini juga berkaitan dengan sektor pangan, kurir atau pengiriman barang, hingga aspek asuransi.
Edib mencontohkan ketika terjadi kecelakaan tunggal pada ojek online. Kasus ini tentu sudah masuk pada ranah perlindungan konsumen. “Ini tidak di-cover oleh Jasa Raharja, jadi bagaimana? Nah hal-hal kayak itu kita gagap, kalau tidak segera duduk bersama membicarakannya,” ujar Edib.
Kelemahan kedua terjadi karena Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi tak kunjung segera diundangkan menjadi peraturan. Di saat yang bersamaan, data-data pribadi konsumen digunakan dalam sejumlah aplikasi-aplikasi digital. “Jika anda beli barang di Lazada, ternyata gak sesuai atau ada chemical contamination, siapa yang tanggung jawab? Ketika diminta datanya, yang menyimpan Lazada atau orang lain, hal ini yang sebenarnya belum jelas di Indonesia,” kata dia.
Isu mengenai keamanan data pribadi ini ternyata tidak hanya dialami oleh masyarakat biasa. Seorang Ketua BPKN Ardiansyah Parman pun tak luput dari penyalahgunaan data pribadi. Dalam jumpa pers ini, Ardiansyah menyebut dirinya baru saja menerima tawaran produk dari orang yang tidak Ia kenal. “Ini tentu ada data yang bocor,” kata Ardiansyah.
Lalu persoalan kelemahan ketiga terjadi karena banyaknya saluran pengaduan bagi masyarakat. Sebagai contoh, BPKN hanya bertindak sebagai lembaga penerima pengaduan. Untuk proses penyelesaian, lembaga yang berwenang adalah Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen atau BPSK.
Lalu di sektor keuangan, ada juga Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa (LAPS) di bawah Otoritas Jasa Keuangan atau OJK. “Jadi masyarakat bingung mau lewat mana,” kata Koordinator Komisi Komunikasi dan Edukasi BPKN, Arief Safari.
Sementara itu, Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Agus Suyatno memiliki pandangan berbeda. Ia menilai, semakin banyak kanal pengaduan justru semakin baik. Sebab, masyarakat sebagai konsumen memiliki akses poin pengaduan secara spesifik dan tepat guna. “Permasalahan pengaduan terkait perbankan misalnya, masyarakat bisa memiliki langsung mengadu ke OJK,” kata dia.
Baca: BPKN Desak Revisi Undang-Undang Perlindungan Konsumen, Sebab...
Bahkan, YLKI justru mengharapkan setiap entitas bisnis usaha memiliki kanal pengaduan. Sehingga, konsumen yang merasa dirugikan bisa secara mandiri mengadukan permasalahannya. Bahkan, YLKI ingin setiap kementerian memiliki Direktorat Jenderal Perlindungan Konsumen demi memperkuat kanal pengaduan ini. “Saat ini hanya Kementerian Perdagangan yang memiliki,” ujarnya.