TEMPO.CO, Jakarta - Ombudsman meminta pemerintah untuk serius memikirkan solusi dari persoalan yang dihadapi Perum Badan Urusan Logistik alias Bulog. Pasalnya, peran perusahaan yang dipimpin oleh Budi Waseso itu belakangan dinilai kurang efektif, terutama setelah adanya program Bantuan Pangan Non Tunai alias BPNT.
BACA: Ombudsman: Perum Bulog Bisa Bangkrut, Kalau...
"Jadi menurut saya sudah jangan terlalu banyak omong, lakukan evaluasi dan laksanakan dengan baik," ujar anggota Ombudsman Alamsyah Saragih di Kantor Ombudsman, Jakarta, Kamis, 27 Juni 2019. Ia mengatakan penyelesaian masalah itu tidak boleh ditunda-tunda lagi karena bisa berdampak kepada stabilisasi harga pangan nasional.
Permasalahan yang paling kentara, ujar Alamsyah, adalah menumpuknya stok beras Bulog di gudang dan sulit disalurkan sejak adanya program BPNT. Dulu, beras Bulog disalurkan ke masyarakat dengan adanya program pemberian beras sejahtera atau rastra.
"Dengan program BPNT itu mereka dikasih voucher dan mereka bisa beli langsung dari pasar. Sehingga stok pengadaan bulog, baik impor dan dari domestik itu stay di gudang terlalu lama," kata Alamsyah.
BACA: Darmin Nasution Dukung Bulog Operasi Pasar hingga Desember
Kebijakan bagus, tutur dia, diperlukan untuk menyelesaikan perkara itu. Misalnya saja dengan skema memperbolehkan Bulog mengolah beras yang terancam busuk untuk diubah menjadi tepung. Yang terpenting, ada kebijakan atau aturan yang jelas untuk Bulog. "Jangan sampai bulog dianggap memusnahkan barang milik negara."
Tanpa skema anyar, Alamsyah berujar Bulog hanya bisa mengandalkan operasi pasar. Padahal program itu tidak bisa dilaksanakan terus menerus. "Lah kalau harga tidak sedang tinggi tapi operasi pasar kan berarti membantai harga, akhirnya peran bulog jadi tidak efektif," ujar dia. Ia meminta pemerintah tak setengah-setengah dalam mengeluarkan kebijakan.
Dengan kebijakan BPNT saat ini, tutur Alamsyah, maka pemerintah harus membahas kembali peran Bulog ke depannya. Sebab, bila perseroan terus menerus tidak efektif, bisa saja ketika pemerintah membutuhkan peran Bulog sebagai stabilisator, kondisi perusahaan justru tak memadai.
Di samping itu, ia melihat pemerintah juga mesti merevitalisasi dan memodernisasi sistem Bulog."Saya kira satu hingga dua tahun ke depan kalau enggak dibikin sebuah kebijakan yang signifikan, hancur Bulog," ujar Alamsyah. "Ini situasinya sangat penting, kita butuh satu institusi yang berfungsi sebagai stabilisator yang suatu saat diperlukan jangan sampai saat diperlukan kondisinya tidak fit."
Saat ini, Perum Bulog memang masih mengandalkan operasi pasar untuk mengurangi stok berasnya yang saat ini sudah hampir mencapai kapasitas maksimum gudangnya. Operasi pasar itu bakal mulai dilakukan lagi pekan depan setelah mereka setop beroperasi 31 Mei lalu.
Direktur Operasional dan Pelayanan Publik Bulog Tri Wahyudi Saleh berujar penjajakan dan persiapan sudah dilakukan. Salah satu titiknya adalah di Pasar Induk Beras Cipinang. Setidaknya, perseroan menargetkan akan menggelontorkan beras sebanyak 5.000 ton per hari, dengan batas penyaluran beras harian sebanyak 15 ribu ton per hari.
Menteri Koordinator Perekonomian Darmin Nasution mendukung perpanjangan operasi pasar hingga Desember 2019. Dia mengatakan langkah itu dilakuka untuk mencegah kerusakan beras bulog.
ANDI IBNU | DIAS PRASONGKO