TEMPO.CO, Jakarta - Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan saat ini seluruh negara tengah menghadapi kesulitan menarik pajak untuk perusahaan digital, seperti Google, Facebook, Amazon, dan, Netflix. Menurut dia, pembahasan pajak digital itu disampaikan negara-negara anggota G20 dalam pertemuan baru-baru ini di Jepang.
Baca juga: Di Forum G20, Sri Mulyani Soroti Pajak di Era Digital
"Yang pusing menghadapi pajaknya Google, Facebook, Amazon, Netflix, itu tidak hanya kita tapi seluruh dunia pusing.
Karena company-nya tidak ada di negara kita, namun dia mendapatkan revenue yang efektif," ujar Sri Mulyani dalam rapat badan anggaran di kompleks Dewan Perwakilan Rakyat, kompleks Parlemen Senayan, Jakarta Pusat, Selasa petang, 11 Juni 2019.
Lantaran perusahaannya tak ada di Indonesia, Sri Mulyani mengatakan pajak dalam undang-undang dan perjanjian pajak internasional yang mengatur badan usaha tetap atau BUT sulit diaplikasikan.
Semestinya, ucap dia, sistem pajak khususnya pajak digital tidak hanya didasari physical presence atau kehadiran secara fisik dari para pengusaha ke negara-negara.
Baca Juga:
Apalagi, saat ini pengguna internet telah berkembang. Dari 260 juta populasi penduduk, 100 juta di antaranya merupakan pengakses Google, Netflix, Amazon, Facebook, dan situs sejenisnya.
Meski demikian, Sri Mulyani memastikan saat ini negara-negara anggota G20 telah bersepakat melakukan redefinisi dari BUT atau permanent establishment. "Dengan kompleksitas struktur ekonomi digital, tantangan lain pemerintah adalah membuat formulasi kebijakan, khususnya perhitungan kuantitatif terkait significant presence," ucapnya.
Selain itu, Sri Mulyani menyebut tantangan lain adalah mendefinisikan low or no tax jurisdictions dan cara bagaimana mengalokasikan hak perpajakan; terutama formula dan dasar perhitungannya.
Sri Mulyani memandang pembahasan pajak digital adalah sebuah kemajuan dalam kerja sama internasional. "Kemajuan yang paling penting adalah kerja sama perpajakan internasional, terutama untuk perpajakan digital," ucapnya.